Di sini saya tidak ingin mengomentari cercaan elite politik sebuah partai politik (maaf, namanya tidak perlu sebutkan) di sebuah tayangan TV One terhadap salah seorang menteri yang juga bakal calon presiden (bacapres), di mana penonton pasti langsung bisa menangkap dan menebak siapa yang dimaksud.
Di sini saya langsung diingatkan pada bambu unik kurung. Di kalangan pengaji deling (bambu unik) Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara (KPBUN), bambu kurung ini menyiratkan simbolisasi "mikul duwur mendem jero", kubur yang tidak baik, angkat kebaikannya.
Dengan mikul duwur mendem jero, kita tidak senantiasa terus usrek dengan selalu mengungkit-ungkit mencari catatan kesalahan, menyalahkan, menjelekkan, bahkan sampai melontarkan fitnah dengan tujuan menyerang martabat kehormatan sesorang sebagai upaya pembunuhan karakter (character assassination).
Mari kita tanamkan kembali spirit nilai-nilai luhur warisan budaya nenek moyang; mikul duwur mendem jero. Kubur yang tidak baik, angkatlah yang baik. Adapun ruh "mikul duwur mendem jero" hendaknya juga senantiasa bersemayam dalam diri seorang pemimpin berjiwa besar dan ksatria.
Itulah pesan dari bambu kurung "mikul duwur mendem jero" yang mana semua itu yang akan membentuk jiwa kita untuk menjadi lebih baik, pemaaf, tepo seliro, dan juga untuk menjauhkan diri dari sifat pendendam.
Dengan ngaji deling, bambu kurung mikul duwur mendem jero ini kita diajarkan pula untuk senantiasa berjiwa pemaaf, memberi maaf dan saling memaafkan.
Selain diingatkan pada filosofi bambu kurung. Saya pun lantas mengambil buku "Kepemimpinan Militer 2" Prabowo Subianto, yang didalamnya juga memuat falsafah kepemimpinan Jawa, seperti mikul duwur mendem jero dan becik ketitik ala ketara.
Dalam perspektif kepemimpinan Jawa, filosofi mikul dhuwur mendem jero, mengajarkan pada kita, hendaknya tidak menjadikan kita selalu usrek pada masa lalu. Kita harus menatap ke masa depan, bukan selalu usreg mencari kesalahan-kesalahan masa lalu, yaitu dengan mikul duwur menden jero. Karena kalau kita masih selalu usreg dengan masa lalu, mencari kesalahan-kesalahan masa lalu, sebagai pola kemunduran berpikir dan bersikap.
Kita gampang mengadili seseorang. Sementara kita sendiri terkadang tidak fair, tidak bijak dan objektif yang dengan begitu mudahnya dipengaruhi prasangka atau hanya dilandasi asumsi dalam mengadili seseorang baik lewat ujaran maupun dengan cara-cara trial by press.
Kita lebih gampang mencaci, memaki, menghujat dan mencari kesalahan dan mempersalahkan orang lain walau hanya didasari prasangka tanpa dukungan fakta dan bukti sekalipun.