Lihat ke Halaman Asli

Alex Palit

jurnalis

"Nada-Nada Radikal Musik Indonesia" Perlawanan Budaya Kaum Seniman Musik Radikalis

Diperbarui: 9 Maret 2022   04:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Di sini saya tidak ingin mengomentari tudingan atau stigmatisasi radikalis yang disematkan oleh kekuasaan terhadap sebuah kaum lantaran sikap kritisnya terhadap penguasa.  

Di sini saya hanya sengaja mengutip terminologis makna kata "radikal". Secara filosofis, kata radikal -- berasal dari bahasa Latin; radix, yang berarti akar. Makna kata ini disematkan pada orang yang berpikir mendalam sampai ke akar, memiliki sikap kritis dalam menyikapi sesuatu hal.

Sementara kalau mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata radikal itu disematkan pada orang yang punya pemikiran mendasar sampai kepada hal prinsip, atau orang yang maju dalam berpikir atau bertindak.

Makna kata "radikal" ini cukup mengena buat saya untuk sebagai judul buku "Nada-Nada Radikal Musik Indonesia".

Dalam buku "Nada-Nada Radikal Musik Indonesia", saya mengilustrasikan radikalisme ini lewat penampilan komponis WR Suprataman di momentum historis "Sumpah Pemuda II -- 28 Oktober 1928".

Siapa sangka resonansi nada-nada radikal yang dimainkan lewat gesekan biolanya mampu menggetarkan jiwa dan mengkobarkan api semangat nasionalisme, sebagai bentuk ekspresi perlawanan terhadap kolonialis Belanda yang dituangkan dalam bahasa musik.

Dalam perspektif kebudayaan, kata radikalisme sebagai gerakan perlawanan, juga ditemui di musik, utamanya di rock.  Di mana citra rock itu selalu diidentikkan dan dikaitkan dengan semangat jiwa yang dinamis, penuh vitalitas, militansi, dan berani menghadapi tantangan perubahan zaman.

Dalam spirit rock juga sering diartikan sebagai budaya tanding (counter culture) atas perlawanan budaya, seperti protes sosial anti kemapanan (establisment). Bahkan budaya tanding ini sebagai gerakan protes sosial terhadap terjadinya ketidakadilan atau dehumanisasi.

Buku ini mengulas tentang nada-nada radikal musik Indonesia sebagai gerak perlawanan budaya sampai tema kebangsaan para seniman musik radikalis terhadap kondisi sosial budaya dan politik dari era WR Supratman dengan lagu "Indonesia Raya"-nya, Gombloh, Leo Kristi, Iwan Fals, Franky Sahilatua, Rhoma Irama, Mogi Darusman, Sawung Jabo, Sujiwo Tejo, Kantata Takwa, Swami, God Bless, Gong 2000 dan Slank.

Buku ini juga mengulas filosofi musik dan perannya dalam kehidupan, termasuk menyorot benarkah musik pop Indonesia sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri di tengah gempuran budaya popular (popular culture). 

Termasuk didalamnya, di tengah politisasi budaya popular mampu musik Indonesia menjadi peneguh jatidiri bangsa dan sebagai benteng ketahanan nasional sebagaimana disyaratkan Bung Karno lewat doktrin "Trisakti" prihal kemandirian di bidang kebudayaan, di mana musik ditempatkan sebagai bagian dari strategi kebudayaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline