Adalah Puan Maharani. Terlepas dari hasil rilisan simulasi survei. Meski tidak masuk unggul-an tiga besar bertengger dipering-kat atas dari simulasi elektabilitas hasil survei, tapi setidaknya nama Puan Maharani, politisi dari PDI-P secara elektoral adalah baru satu-satunya kandidat capres yang sudah mengantongi tiket untuk berlaga di gelaran Pilpres 2024.
Sebagai "Putri Mahkota" adalah wajar bila Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang tak lain ibunda kandung Puan, yang juga mantan Presiden Indonesia ke-V, mengusung putrinya sebagai capres di Pilpres 2024 mendatang. Dengan mengantongi kuota presidential threshold 19,2 %, secara elektoral PDI-P berhak mengusung capres dan cawapres sekalipun tanpa harus menjalin koalisi dengan partai lainnya.
Wanita kelahiran Jakarta, 6 September 1973, dari pasangan Taufik Kiemas dan Megawati Soekarnoputri, yang kini menjabat Ketua DPR RI, yang kini digadang-gadang oleh partainya dimajukan sebagai calon presiden di gelaran Pilpres 2024, secara psikologis politik memang menyandang beban cukup berat.
Mampukah ia menjadi penerus dinasti Soekarno menjadi orang nomor satu Indonesia? Sebagai cucu Soekarno dan anak biologis Megawati, mampukah Puan mewarisi ideologis doktrin politis dari sang kakek dan ibundanya yaitu menjalankan ajaran Marhenisme, keberpihakan dalam berjuang dan memperjuangkan nasib wong cilik dari ketertindasan.
Di antara nama kandidat capres yang bermunculan atau deklarasikan diri, Puan terbilang cukup masif melakukan sosialisasi lewat ragam gelaran citraan dalam rangka mengorbitkan popularitas elektabilitasnya. Walau tak jarang ia menuai ragam kritisi, bahkan langsung berupa "serangan" atas tampilan citraan tersebut.
Dalam pertarungan politik, kritik, pujian, san-jungan maupun cercaan, bahkan saling telikung dan jegal, adalah hal yang sudah jamak terjadi di antara kawan dan lawan, maupun antar simpatisan dan pendukung. Bahkan yang dianggap kawan bisa menelikung berpaling menjadi lawan. Itulah politik. Segala kemungkinan bisa teralami.
Seperti kata Otto von Bismarck: Politics is the art of the possible, politik itu seni kemungkinan, tak ada yang tak ada. Dalam politik tak lawan atau kawan sejati yang ada adalah kepentingan hasrat ambisi, di mana di bisa saling kolaboratif atau malah menjegal. Bisa pula dari kawan berubah menjadi lawan dalam selimut, menggunting dalam lipatan selimut.
Sebagaimana banyak disebutkan bahwa dalam politik segala kemungkinan bisa terjadi. Termasuk bisa pula, walau namanya kini tidak diunggulkan dalam rilisan hasil simulasi survei sebagai kandidat capres, justru kebalikannya di luar prediksi melesat pada hari H tampil mengungguli rivalnya sebagai realitas politik.
Alex Palit, jurnalis, penulis buku "Sang Presiden 2024"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H