Lihat ke Halaman Asli

Alex Palit

jurnalis

Radikalisme dan Budaya Tanding

Diperbarui: 2 Februari 2022   07:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Secara filosofis, kata radikal -- berasal dari bahasa Latin; radix yang berarti akar. Makna kata ini disematkan pada orang yang berpikir mendalam sampai ke akar, memiliki sikap kritis dalam menyikapi sesuatu hal.

Sementara kalau mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata radikal itu disematkan pada orang yang punya pemikiran mendasar sampai kepada hal prinsip, atau orang yang maju dalam berpikir atau bertindak.

Dalam buku "Nada-Nada Radikal Musik Indonesia", saya mengilustratifkan radikalisme ini lewat penampilan komponis WR Supratman di momentum historis "Sumpah Pemuda II -- 28 Oktober 1928". Siapa sangka resonansi nada-nada radikal yang dimainkan lewat gesekan biolanya mampu menggetarkan jiwa dan mengkobarkan api semangat nasionalisme, sebagai bentuk ekspresi perlawanan terhadap kolonialis Belanda yang dituangkan dalam bahasa musik.

Dalam perspektif kebudayaan, kata radikalisme sebagai gerakan perlawanan, juga ditemui di musik, utamanya di rock.  Di mana citra rock itu selalu diidentikkan dan dikaitkan dengan semangat jiwa yang dinamis, penuh vitalitas, militansi, dan berani menghadapi tantangan perubahan zaman.

Spirit rock juga sering diartikan sebagai budaya tanding (counter culture) atas perlawanan budaya, seperti protes sosial anti kemapanan (establisment). Bahkan budaya tanding ini sebagai gerakan protes sosial terhadap terjadinya ketidakadilan atau dehumanisasi.

Nada-nada radikal di musik inipun tidak berhenti pada nyanyian Indonesia Raya.  Bagaimana kita saksikan penyanyi Franky Sahilatua berkolaborasi dengan budayawan Emha Ainun Nadjib di album Perahu Retak (1996), menyanyikan nada-nada radikal sebagai bentuk kritik sosial terhadap rezim represif Presiden Soeharto. Lalu bagaimana Franky dengan nada-nada radikal mengkritisi Presiden SBY lewat lagu Aku Mau Presiden Baru (2009). Semua itu merupakan sikap radikalisme versi seniman yang diekspresikan dalam bahasa musik.

Kini, terminologis radikalisme bukan lagi bisa dimaknai dengan multitafsir, tapi juga sudah bermakna dimaknai tafsir yang abu-abu, tergantung sesuai selera kehendak pemberi demi alasan, tujuan, dan untuk kepentingan apa?

Bagaimana kita dengan begitu gampangnya membungkus tafsir makna kata radikalisme diperuntukkan sebagai pembenaran yang dimaui.

Bahkan atas nama tafsir radikalisme ditanamkan menjadi dan dijadikan instrumentasi pembenaran untuk melakukan tindakan-tindakan represif terhadap mereka yang dianggap berseberangan dalam hal keyakinan politik atau ideologi.

Bagaimana hari ini kita saksikan tafsir makna radikal mengalami pendangkalan makna dan ditafsir abu-abu atas nama pembenaran kepentingan politis atau hegemonis kekuasaan. Termasuk bagaimana saat ini kita pun dihadapkan pada kenyataan bahwa kebenaran yang kita yakini itu tidak selamanya benar karena dapat ditafsir sekehendak otoritatif penguasa.

Kita sering harus tunduk tidak berdaya pada hegemoni kebenaran atas supremasi tafsir teks penguasa sebagai sumber kebenaran pemegang kuakuasaan. Dalam tafsir hermeneutik, kebenaran itu bisa lahir dari wacana, asumsi atau otoritas yang bisa ditafsirkan dalam konteks ruang dan waktu, sehingga dapat bermakna multitafsir, bahkan bisa menjadi tafsir abu-abu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline