Sebagai sesama jurnalis, saya sangat prihatin dengan kasus menimpah Edy Mulyadi (EM) terkena jeratan semiotik atas ujarannya "tempat jin buang anak" dan "macan yang mengeong", yang kemudian menyebut bahwa dirinya adalah wartawan senior.
Saya pun dibuat penasaran, lalu tanya Mbah Google, untuk mencari tahu bla bla bla riwayat jurnalistik EM, sampai kemudian ia menyebut bahwa dirinya sebagai wartawan senior.
Dari riwayat kewartawanan atau kiprah EM di dunia jurnalistik, ternyata saya lebih tua setahun. EM mulai jadi wartawan tahun 1991. Sementara itu saya di tahun 1990, dengan mengawali sebagai wartawan harian Surya (Surabaya), lalu di Persda Kompas Gramedia (Jakarta) dan Tabloid Musik ROCK (Jakarta).
Jadi kalau diruntut berarti saya juga disebut sebagai wartawan senior. Dan sampai hari ini, saya masih intens menulis sebagai citizen jurnalis di Tribunnews.com, Kompasiana.com, serta menulis di blog maupun grup fb yang saya bikin. Di situ saya menulis apa saja, mulai dari musik, filosofi bambu unik, humaniora, juga politik.
Meski dari segi usia riwayat jurnalistik, saya juga bisa dibilang sebagai wartawan senior, tapi tidak pernah sekalipun menyebut diri sebagai wartawan senior. Apalagi menyebut diri sebagai pengamat musik atau pengamat politik. Malah saya risih dengan sebutan itu. Saya lebih suka menyebut sebagai citizen jurnalis.
Prestasi kerja jurnalistik bukan secara an sich ditentukan panjang pendeknya masa kerja sebagai wartawan yunior atau senior. Saya tidak peduli dengan sebutan itu. Justru lebih pada beban tanggung jawab profesi.
Sebagaimana disebutkan oleh Franz Magnis Suseno bahwa pers atau jurnalis harus memiliki tanggung jawab etik pers: (a). Tanggung jawab pers dalam menyajikan informasi. (b). Tanggung jawab pers dalam mengemukakan penilaian.
Termasuk dalam hal ini, pers harus memberi edukasi kepada masyarakat sebagai subjek penerima berita, bukan semata-mata sebagai objek yang disodori berita-berita yang diplintir sebagai klaim pembenaran sepihak.
Begitupun sebagai jurnalis, saya hanya diingatkan oleh pesan pendiri Harian Kompas Jakob Oetama -- bahwa menulis buku adalah mahkota bagi seorang wartawan / jurnalis. Alhamdullilah, saat ini saya sudah menerbitkan tujuh buku: Rock Humansme God Bless, Nada-Nada Radikal Musik Indonesia, Sejarah Festival Rock se-Indonesia 1984 / 2004 -- Log Zhelebour, God Bless -- Aku Bersaksi, 70 Tahun Maestro Rock Indonesia -- Ian Antono, Ngaji Deling Ratu Adil, dan Sang Presiden 2024.
Sebagai jurnalis, kita memang harus bersikap kritis, karena jurnalis ditakdirkan sebagai watchdog. Tapi sikap kritis bukan berarti nyinyir, ada etika jurnalistik yang harus tetap dipegang dan dipatuhi. Malah sebaliknya, justru jurnalis tidak boleh membebek kwek kwek kwek pada kepentingan politik pragmatis kekuasaan yang tersinyalir korup. Itulah komitmen yang harus dimiliki jurnalis.
Terlepas apakah yunior atau senior, profesi jurnalis sebagai pilar keempat penjaga demokrasi ditakdirkan sebagai watchdog dengan tetap berpegang dan mematuhi etika jurnalistik, bukan bla bla bla bertendensi berberita nyinyir, apalagi merasa sebagai wartawan senior.