Pada pertengahan abad ke-5 SM muncul aliran baru dalam filsafat Yunani, yang berlainan sifat dan cara pandang dengan yang ada dalam berfilsafat. Aliran itu dinamai Sofisme atau Sofistik, berasal dari "Shopos" yang artinya cendekia, cerdik pandai lantaran pengetahuan dan kebijaksanaan yang dimiliki.
Gelar Sofis ini ditujukan kepada segala orang pandai apakah itu ahli bahasa, ahli filsafat, ahli politik dan lain-lainya. Orang yang tersebut karena pengetahuannya dan kebijaksanaannya dinamai Sofis. Tiap-tiap guru sofis membawa pahamnya sendiri. Pahamnya sendiri pun tidak pula tetap, berubah-ubah dari waktu ke waktu. Tak ada yang tetap, kata mereka.
Sebagai cendekia yang piawai di bidangnya, kaum Sofis akan menunjukkan atau mempertontonkan kepiawaiannya atas bidang yang ditangani dengan segala argumentasinya sehingga membuat terpesona bahkan sampai terpedaya olehnya.
Ia bukan saja jago beretorika dan cerdik bersilat lidah dalam memainkan argumentasi, juga piawai menjajakan dan pemaparkannya dalam rangka mengkonstruksi opini publik berdasar klaim kebenaran atas dasar subjektivitas tolok ukurnya.
Kritik Platon Terhadap Kaum Sofis
Disebutkan oleh Platon, kaum Sofis adalah pakar yang benar-benar pintar dan licin cenderung licik. Mereka tahu segala macam jawaban yang dibutuhkan, dan tahu jawaban mana yang seharusnya tidak dipakai. Dan, para Sofis akan meminta imbalan biaya untuk pengetahuan yang mereka sumbangkan.
Jadi tidak gratisan. Cara kerja kaum Sofis ini tak luput kritik dari Sokrates, Platon dan Aristoteles yang menyebabkan bahwa nama "Sofis" tidak harum, berbau jelek.
Salah satu tuduhan adalah bahwa para Sofis meminta uang untuk pengajaran yang mereka berikan. Demikianlah para Sofis memperoleh nama yang jelek, hal mana masih dirasakan sampai pada hari ini.
Kisah keberadaan kaum Sofis dengan segala sepak terjangnya, bukan hanya ada di zaman Yunani Klasik, di pertengahan abad ke-5 SM. Kisah ini juga terjadi di abad XXI, bahkan terjadi di Indonesia. Antara lain terlihat di mana "kaum Sofis" ini tumbuh subur bagai jamur di musim hujan, alias tumbuh subur di musim Pilpres.
Sebagaimana disebutkan, di mana "kaum Sofis" dalam menjajakan kepintarannya kepada siapa pun yang membutuhkan jasanya dilakukan demi uang. Dengan kepintarannya berargumentasi, dengan kemahirannya bersilat lidah, dengan kejagoannya beretorika dan kepiawaiannya berwacana, mereka menjajakan dan memaparkan hasil simulasinya dalam rangka mengkonstruksi opini publik berdasar klaim kebenaran atas dasar subjektivitas tolok ukurnya.
Dengan segala kepintarannya dalam beretorika, kepiawaian berwacana dan bersimulasi, "kaum Sofis" ini melakukan pembingkaian dengan segala pencitraannya dalam rangka mengorbitkan popularitas elektabilitas tokoh politik yang bersangkutan guna meraih kesuksesan hasrat politiknya.