Sampurasun, hatur nuhun, dapat lencana penggemar berat dari fb "Kang Dedi Mulyadi". Untuk dibilang penggemar nggak juga, fans yang sedang-sedang saja seperti judul lagu Vetty Vera "Sedang-Sedang Saja".
Terus terang, saya suka buka akun fb "Kang Dedi Mulyadi" (KDM), cuma sekedar lihat dan paling-paling komentar "like". Di situ saya menemukan humanisme KDM. Saya juga tidak tahu, apakah tayangan di akun mantan Bupati Purwakarta ini sebagai upaya pencitraan? Mudah-mudahan bukan. Semoga itu memang sejatinya KDM, humanis.
Satu hal lagi yang saya sukai dari politikus Golkar berdarah Sunda, yaitu kecintaannya begitu mendalam pada budaya leluhur Sunda, yang harus tetap dijaga, dirawat dan dilestarikan sebagai warisan nenek moyang dengan segala kearifan lokal, asih asah asuh.
Terlepas siapa pun itu, di tengah situasi seperti saat ini, kita butuh sosok yang diperlihatkan KDM, yang punya kepedulian, simpati dan empati terhadap wong cilik, khususnya di kalangan para elit politik partai yang secara intuitif pengejar ambisi kuasa.
Bukan memunculkan dirinya hanya pada saat jelang pemilu pilkada atau pilpres sok merakyat, kemudian hadir di tengah rakyat dengan mengobral nyanyian tinggi gunung seribu janji. Setelah terpilih, obral tinggi gunung seribu janji hanya pepesan kosong, jauh panggang dari api.
Bagaimana kita dipertontonkan beberapa bulan lalu, sebelum penggebluk Covid-19 kembali mengganas yang bukan menelan banyak korban juga semakin menderitanya wong cilik disekat oleh PPKM, padahal Pilpres 2024 baru akan digelar 3 tahun lagi, ada elit politik sudah kebelet nyapres atau cek ombak mengukur elektabilitas untuk dicapreskan yang dimunculkan lewat ragam survei yang diragukan independensinya.
Celakanya lagi, dalam survei yang jadi tolok ukurnya hanya berupa elektabilitasnya, sementara "isi kepala" bukan jadi pertimbangan. Tak heran bila kemudian muncul sinyalemen nyinyir adanya kepentingan politik pragmatis didalamnya.
Perang survei pun bermunculan untuk cek ombak mengukur elektabilitas elit politik yang ambisius nyapres atau nyapres lagi. Yang dimunculnya orangnya ya itu itu juga alias 4L -- loe lagi loe lagi. Kayaknya di Indonesia tidak ada orang lagi untuk harus dimunculkan, selain mereka.
Semoga di pilpres mendatang, dan saya yakin seyakin-yakinnya, pastinya rakyat semakin cerdas dalam melihat, memilah, memilih dan menentukan pilihan sesuai rekam jejak yang telah ditorehkan. Dan, tidak terperangkap terprovokasi, terpedaya dan tertipu oleh simulasi pencitraan survei sehingga tidak mengalami "nasi sudah menjadi bubur", bersatu padu memilih yang keliru.
Siapa pun itu pemimpinnya, yang kita butuhkan saat ini adalah sosok kepemimpinan "Asih Asah Asuh", sosok pemimpin yang mampu merekatkan dan menyatukan retakan-retakan kemesraan sosial yang terbelah terpolarisasi oleh stigmatisasi ideologis, yang diakui tidak diakui telah memecah kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika.
Di tengah duka derita wong cilik akibat pageblug Covid-19 yang dibarengi penyekatan PPKM, memang perlu adanya kepedulian, simpati, empati secara jujur dan tulus elit politik, bukan pencitraan.