Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Sun, Sand and Sex

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Beberapa hari ini kita disuguhkan dengan fenomena menarik adanya film documenter yang dibuat oleh Amit Vitani, seorang sineas india yang bermukim di singapura. Film ini diberi judul cowboys in paradise. Bermula dari pertemuannya dengan seorang bocah usia 12 tahun di Kuta yang rajin belajar bahasa asing. Ketika ditanya apa motivasinya untuk belajar bahasa itu, dia mengatakan ingin dekat dengan cewek-cewek cantik dari negerinya miyabi. Beberapa puluh tahun yang lalu, kira-kira tahun delapan puluhanlah, saya sudah melihat remaja - remaja tanggung yang datang di klub-klub malam diseputar PEANUTs Club yang lama. Mereka asyik berpelukan, minum bir, have a lot of fun. Bahkan di Jepang sangat jamak bila gadis-gadis jepang yang datang ke Bali mempunyai tujuan utama adalah menikmati sex dengan pria-pria disana. Dalam kepariwisataan hal semacam itu sudah lumrah terjadi, dimana saja. Wisatawan yang datang ke indonesia ada yang suami istri, ada yang berpacaran dari negara mereka atau ketemu di jalan, ada yang masih single baik yang wanita atau pria. Apa yang mereka cari di Indonesia, pertama Indonesia adalah negeri yang memiliki kepulauan yang membentang di garis khatulistiwa, jadi mendapatkan sinar matahari yang melimpah. Udara yang sangat hangat ini mengundang mereka untuk datang. Jadi daya tarik SUN (matahari) ini yang membuat mereka datang. Matahari yang banyak, menimbulkan alam yang indah dengan pegunungan hijau dimana-mana. Indonesia juga memiliki garis pantai yang sangat panjang, pantai- pantainya sangat indah. Para wisman ini sangat menikmati keindahan pantai dengan laut biru, karang berwarna-warni dan pasir putih bak kristal, inilah daya tarik Sand (pasir) itu.  Nah kalau bicara SEX, tentu semua orang memiliki interpretasi yang berbeda. Menurut mbak Mariska Lubis, sang specialist SEX discussion di kompasiana mengatakan bahwa sex adalah awal dari kehidupan. Jadi kehidupan tanpa sex adalah awal kehancuran kehidupan itu sendiri. Masalahnya sekarang bagaimana orang menikmati sex itu. Ada yang beranggapan harus menikah dulu, ada yang beranggapan kalau hati sudah terpaut dan keduanya mau melakukan mengapa tidak. Ada yang sudah menikah, mau lagi ya selingkuh, ada yang kawin siri. Semua itu saya pikir hanya merupakan perasaan psikologis pelakunya. Secara ilmu agama sex diluar nikah adalah dosa, dan tidak bermoral. Secara ilmu pengetahuan sex diluar nikah dan berganti-ganti pasangan sangat beresiko kena penyakit kelamin. Kembali ke masalah pariwisata yang kaitan terakhirnya kata SEX diatas. Karena berinteraksinya manusia dengan beragam pola pikir dan pandangan hidup. Kebanyakan mereka (wisman) memiliki pola pikir sex bebas. Tapi mereka tidak semata-mata mencari sex seperti binatang. Semua mengalir dengan sendirinya berlandaskan berbagai alasan. Ada yang awalnya tertarik karena yang satu wanita dan satunya laki2. Ada yang karena lesbian atau homoseksual dsb. Mereka melakukan apa yang mereka anggap mereka berhak melakukannya. Asmara diantara mereka ada yang singkat ada yang berlanjut hingga memiliki keturunan, membangun bisnis dsb. Seharusnya hal positif semacam ini juga diangkat. Sayang saya belum bisa mengakses trailer film ini, jadi saya belum dapat mengomentari specifik tentang film yang membuat Gubernur bali kebakaran jenggot. Kalau masyarakat bali saya pikir mereka sangat dewasa soal yang beginian, sing ken ken kata mereka ( mungkin ). Saya sangat ingin juga mengankat tulisan tentang perkawinan kopi susu yang berhasil baik di Bali maupun di Lombok. Berapa banyak mereka yang membangun rumah tangga dan memberikan sumbangsih yang positif bagi kepariwisataan di Bali maupun Lombok. Apakah mereka yang berambut gondrong, nongkrong di pantai, bercengkerama dengan bule, jalan dengan bule dan bergaul dengan bule akan dikatakan GIGOLO atau PELACUR. Seperti yang terjadi di Bali mereka akhirnya di razia di pantai kuta dan itu mungkin hanya merupakan tindakan politis agar bali tidak di cap sebagai pulau penyedia Gigolo. Padahal keberadaan mereka sejak dulu kala ya begitu. Hal yang terpenting, mungkin masyarakat kita agar lebih berhati- hati dengan pihak asing yang mengambil gambar dan mewawancarai apalagi meminta dan mengarahkan orang yang diwawacarai untuk melakukan ini dan itu. Mending dapat bayaran,  ini udah di cari polisi nggak dapat duit lagi wah sial banget tuh.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline