Lihat ke Halaman Asli

Alex Mulandar Manalu

Internship lawyer - Gading and Co. Law Firm

Jusuf Kalla yang Penuh Teka-Teki, Mengapa Golkar Menoleransi Sikap Independennya?

Diperbarui: 19 Juli 2024   20:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Penulis

Dalam dunia politik Indonesia yang kompleks, nama Jusuf Kalla identik dengan ketidakpastian. Sebagai seorang politisi berpengalaman dan pendukung partai Golkar, Kalla secara konsisten menentang garis partai, yang sering kali mengejutkan rekan-rekannya dan publik. Namun, meskipun sering menyimpang dari pendirian partai, partai Golkar telah memilih untuk mempertahankan hubungan baik dengannya. Namun, apa yang mendorong dinamika yang aneh ini?

Contoh terbaru dari sikap independen Kalla adalah keputusannya untuk mendukung pasangan Anies-Muhaimin Iskandar pada pemilihan presiden 2024, meskipun partai Golkar secara resmi mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Langkah ini mengingatkan kita pada keputusannya pada tahun 2014 untuk bermitra dengan Jokowi, yang bertentangan dengan dukungan Partai Golkar untuk pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Dalam kedua kasus tersebut, tindakan Kalla bertentangan dengan loyalitas partai, namun partai Golkar memilih untuk tidak mendisiplinkannya atau mempertanyakan keanggotaannya.

Jadi, apa yang menjelaskan toleransi partai Golkar terhadap perilaku maverick Kalla? Salah satu alasan yang mungkin adalah karena pengaruh dan senioritasnya di dalam partai. Sebagai tokoh yang dihormati dengan sejarah panjang pengabdiannya pada partai Golkar, reputasi dan kedudukan Kalla mungkin menyulitkan partai untuk mengambil tindakan disipliner terhadapnya. Pengaruhnya melampaui dinamika internal partai, dengan banyak orang menganggapnya sebagai seorang negarawan dan tokoh pemersatu dalam politik Indonesia.

Penjelasan lain yang mungkin adalah bahwa partai Golkar memandang Kalla sebagai aset strategis, sebuah "kartu joker" yang dapat dimainkan untuk keuntungan partai. Dengan mempertahankannya di dalam partai, Partai Golkar dapat memanfaatkan jaringan dan pengaruhnya yang luas, meskipun ia tidak selalu mengikuti garis partai. Pendekatan ini terbukti pada pemilihan presiden 2014, di mana kemitraan Kalla dengan Jokowi membuahkan kemenangan, dan Golkar masih diuntungkan karena memiliki salah satu dari mereka sebagai Wakil Presiden.

Sebaliknya, partai-partai lain, seperti PDIP, telah mengambil pendekatan yang lebih disiplin terhadap anggota-anggotanya yang menyimpang dari garis partai. Contoh baru-baru ini tentang Bobby Nasution, seorang anggota PDIP yang dikeluarkan dari partai karena mendukung calon presiden saingannya, menyoroti perbedaan pendekatan terhadap disiplin partai.

Keputusan partai Golkar untuk mempertahankan hubungan baik dengan Kalla, meskipun ia kadang-kadang berselisih dengan partai, merupakan kalkulasi pragmatis atas manfaat yang ia bawa ke meja perundingan. Dalam lanskap politik yang ditandai dengan pergeseran aliansi dan dinamika kekuasaan yang kompleks, pengaruh dan koneksi Kalla merupakan aset berharga yang tidak ingin dikorbankan oleh partai Golkar.

Ketika Indonesia menavigasi kompleksitas sistem demokrasinya, fenomena Jusuf Kalla menjadi pengingat bahwa politik sering kali merupakan pragmatisme dan perhitungan strategis. Meskipun loyalitas partai merupakan aspek penting dalam kehidupan politik, namun hal tersebut bukanlah satu-satunya pertimbangan. Dalam kasus partai Golkar dan Jusuf Kalla, manfaat dari menjaga hubungan yang baik lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan untuk disiplin dan ortodoksi partai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline