Bangunan itu berdiri memanjang utara-selatan di Jalan Panti Asuhan No. 23 Otista III, Jakarta, di tengah pemukiman padat penduduk. Pos satpam, sebuah rumah kecil di sisi kiri bangunan utama, persis berdiri di mulut gerbang. Bagian depannya ditembok rendah. Sengaja dibuat terbuka. Dari sana seluruh halaman tersapu oleh mata. Juga tamu-tamu yang masuk dan keluar.
Tetapi ini bangunan tua. Plafonnya penuh bercak hitam, berlumut, akibat air hujan. Temboknya telah bopeng di sana-sini meskipun terus dilabur putih. Juga jendela dan pintu yang dicat hijau telah kusam. Lantai ubin dari semen, bukan keramik, bukti lain keuzuran bangunan ini.
"Ini gedung kami yang ketiga setelah dua kali pindah. Dibangun tahun 1958. Berarti sudah 56 tahun. Mestinya dilakukan renovasi total. Kalau hujan sudah bocor. Anak-anak harus siapkan ember dalam kamar untuk menampung air," kata Kristina Hari Diyanti, Pemimpin Panti Asuhan (PA) Parapattan, Jakarta. Kami bertemu akhir Februari lalu.
Misionaris Inggris
Panti Asuhan ini didirikan oleh Pdt. Walter Henry Medhurst dengan nama "The English Orphan Asylum" di Parapattan Laan, Batavia, pada tahun 1832. Lokasinya sekarang digantikan oleh markas TNI Angkatan Laut di Kwitang, Jakarta Pusat, di pinggir Kali Ciliwung. Medhurst mendirikan panti ini karena tergerak hatinya untuk menampung anak-anak hasil hubungan di luar nikah tentara Belanda dan Inggris dengan wanita pribumi.
Tentara-tentara ini bertugas di Batavia selama 5-10 tahun, tetapi tidak diperbolehkan membawa istri dari Eropa. Hubungan dengan wanita pribumi tak bisa dielakkan.
Pdt Medhrust sebenarnya seorang misionaris yang dikirim oleh London Missionary Society (LMS) Inggris tahun 1822 ke Batavia untuk meneruskan usaha J. Slater, misionaris Gereja Baptist, melayani tentara Inggris di Batavia (1821). Tetapi ia hanya sanggup setahun. Ia kembali ke Inggris karena rumah dan gereja bambu yang dibangunnya dirampok lalu dibakar. Pada bekas gereja yang didirikan Slater itulah pada tahun 1829 Medhurst membangun gereja dan kediaman pendeta dari batu. Bangunan itu sekarang masih ada dan menjadi bagian dari Gereja Anglican, "All Saint's Anglican Chruch" di seberang Tugu Tani Jakarta Pusat.
Ada pula anak yang dikirim ke Belanda oleh "ayah"nya untuk belajar, tetapi lebih banyak yang ditinggalkan begitu saja. Barang tentu mereka hidup terlantar. Tidak bersekolah. Juga tidak mengenal ajaran agama Kristen. Para ibu juga tak sanggup membiayai mereka karena tak punya keahlian. Mula-mula The English Orphan Asylum menampung 6 orang anak. Lalu 23 orang. Mereka semua yatim, atau piatu, atau yatim-piatu.
Berganti Pengelola
Tetapi hanya berselang tiga bulan panti ini berganti nama menjadi The Parapattan Orphan Asylum. Barangkali sekarang posisinya berada di Markas Brimob Prapatan, di seberang Kantor BPK Gunung Mulia.
Tahun 1846 pengelolaan The Parapattan berpindah tangan ke sebuah organisasi wanita di bawah gubernur jenderal. Waktu itu yang menjadi Gubjen adalah Jan Jacob Rochussen. Nama The Parapattan berganti menjadi Parapattan Weezen Gestict. Alamatnya pun berpindah ke Rijswijk No.10 (Jl. Segara 10) atau yang sekarang dikenal dengan Jl. Veteran. Di bekas gedung panti Parapattan itu kini berdiri kantor Lembaga Administrasi Negara.