Saya pernah menulis biografi pemilik dan pendiri kosmetik Ristra, dr. Retno Tranggono. Sisi di mana beliau memilih menjadi Kristen. Hanya saja kami "pecah kongsi" di tengah jalan. Beliau tidak suka gaya menulis saya. Terlalu "laki-laki" menurutnya. Biografi beliau yang lain ditulis oleh budayawan asal Prancis yang kini menetap di Bali, Jean Couteau.
Tak soal. Tapi menyuruh saya membongkar tulisan 30-an ribu kata ya, bagaimana? Saya juga sungkan melakukannya. Namun tetap menaruh hormat pada permintaan orang tua. "Jalan tengah" diambil. Dua mantan sekretaris beliau memoles "bangunan" yang sudah saya bikin. Entah berapa persen mereka merombaknya?
Masalah bagi saya? Pasti, tapi tidak bisa terus berada dalam persoalan. Harus keluar dari sana. Ada poin yang jelas yakni: Buku beliau mesti terbit. Entah penulisnya siapa setelah terbit?
Tapi dari beliau saya belajar banyak. Bahwa kosmetik harus diurus serius. Dan Ristra adalah kosmetik berbasis ilmu kedokteran yang pertama di Indonesia. Dokter Retno adalah pendiri jurusan Cosmetodermatologi di Universitas Indonesia. Jurusan yang dicibir pada awalnya, namun menjadi idola sekarang. Coba, berapa banyak dokter yang ahli kecantikan dan kegantengan saat ini? Mereka berada di mana-mana, bukan?
Terkait kecantikan dan kegantengan ini saya ingat soal bau badan (BB). Juga dalam wawancara beberapa kali dengan dokter Retno. Ia memberi saran praktis dua hal saja, yakni mengatur makanan dan menjaga kebersihan badan dengan mandi teratur. Hindari kopi, bawang, alkohol, rokok dan lain-lain makanan yang banyak mengandung sulfur, kata beliau. "Wah, bagaimana menghindari kopi?" ujar saya. Tetapi dalam hati.
Soal BB memang faktor utama menilai seseorang dalam pandangan pertama. Karena elok wajah bisa turun derajatnya kalau badan berbau tak sedap.
Maka perlu "obat" pembasmi BB, yang praktis. Rekan-rekan pasti pernah memakai entah itu penghilang BB dalam bentuk tepung maupun yang berbentuk stik. Keduanya dioleskan pada ketiak yang dianggap sebagai sumber bau. Agar tak "mencemari" lingkungan sekitar.
Ada juga yang pakai minyak wangi. Seturut kebiasaan dan kesanggupan membeli. Biasanya, makin mahal harganya, makin oke aromanya. Eh, kalau sempat silakan nonton film Perfume: The Story of a Murderer. Silakan simak di dalamnya bahwa aroma tubuh ternyata adalah hal yang serius. Menyangkut hidup-mati. Tidak main-main. Bisa membuat seseorang terobsesi dan menjadi pembunuh berantai. Setidaknya itu yang terjadi dalam film ini.
"Obat" pembasmi BB ini pakai penelitian ilmiah. Baik kandungan di dalamnya maupun cara "para produk" ini berhadap-hadapan di pasar. Maka berbagai varian pembasmi BB dilahirkan, untuk menantang pemain sejenis. Rexona misalnya menantang stik sejenisnya. MBK yang tepung, baku tantang face to face dengan Harum Sari. Mereka menyasar kelas menengah-bawah. Harga keduanya ramah di kantong. Ramah juga dibawa-bawa oleh anak kost.
Ujung-ujungnya memang bisnis, terlepas produk itu sebegitu mulianya mengusung misi ingin memperbaiki "citra diri" seseorang.
Ya saling menguntungkanlah. Anda tidak menebar BB, kami dapat duit. Barangkali begitu!