Kesulitan yang amat mendasar dalam membaca teks-teks Alkitab menurut Anwar Tjen adalah karena adanya kesenjangan waktu, situasi, dan pemahaman yang membentang antara dunia Alkitab dan dunia pembaca sekarang.
"Itulah salah satu alasan mengapa banyak tafsir berbeda atas teks yang sama dalam Alkitab," jelasnya.
Anwar mengambil contoh sederhana, yakni nama Israel bertabur di hampir seluruh bagian Alkitab. Menurutnya, tidak mudah bagi pembaca saat ini menarik jarak antara "Israel Alkitab" dan "Israel modern", apalagi, bila lawannya bernama "Palestina" yang kedengaran sangat mirip dengan Filistin.
Padahal, menurut dia, Filistin adalah bangsa-bangsa Laut yang menyerbu Kanaan sekitar abad ke-12 sebelum Masehi dan menetap di wilayah pesisir yang dikenal sebagai Filistea. Sementara, istilah Palestina yang mulai digunakan oleh sejarawan Herodotus (abad ke-5 seb.M.) justru lebih luas cakupannya, kurang lebih meliputi seluruh tanah Kanaan. Kerancuan ini terbawa-bawa terus ketika pemerintah Inggris pasca Perang Dunia I menyebut wilayah barat Yordan sebagai Palestina. Jelas, secara spesifik tidak ada hubungan antara orang Filistin dan orang Palestina!
"Melampaui pemahaman rancu yang populer seperti itu, di kalangan Kristen tertentu memang ada pemahaman yang melihat Israel sekarang sebagai penggenapan nubuat para nabi secara harfiah. Tadi sudah diberikan contoh dari nubuat Yehezkiel. Masih banyak lagi nubuat senada. Misalnya dari Nabi Amos, "Aku akan menanam mereka di tanah mereka dan mereka tidak akan dicabut lagi dari tanah yang telah Kuberikan kepada mereka" (4:15)."
Ada yang lebih spesifik lagi memahami penggenapan nubuat seperti itu, bahkan terhadap ayat yang sebenarnya bukanlah nubuat. Contohnya, pemahaman atas Imamat 26:8. Dalam ayat ini dikatakan, jika umat taat kepada Tuhan, mereka akan diberi damai sejahtera dan kekuatan, sampai-sampai "lima orang di antaramu akan mengejar seratus, dan seratus orang dari antaramu akan mengejar selaksa dan semua musuhmu akan tewas di hadapanmu oleh pedang".
"Saya pernah membaca penjelasan yang mengaitkannya dengan perang kemerdekaan Israel. Beberapa jam setelah proklamasi kemerdekaan Israel pada tanggal 15 Mei 1948, Israel diserbu oleh pasukan bangsa-bangsa sekitar, yakni Mesir, Yordan, Siria, Irak dan Libanon. Semuanya dikalahkan oleh umat Yahudi!" jelasnya.
Beginilah jebakan yang selalu ada ketika orang mau melompat dari teks Alkitab ke konteks historis pembaca sekarang tanpa peduli bingkai sejarah atau teologinya. Benarkah Yahudi menang pada saat itu karena taat kepada Tuhan? Lebih mendasar lagi, bukankah pernyataan dalam kitab Imamat tidak berbicara tentang penggenapan peristiwa tertentu di masa depan, melainkan pilihan antara berkat dan kutuk berdasarkan sikap mereka kepada Tuhan?
"Istilah yang saya sukai untuk cara membaca atau menafsir seperti itu adalah "comotologi", comot sana comot sini untuk berteologi, hehehe," ujar Anwar terkekeh.
Apakah ada cara untuk mengatasi pemahaman yang berbeda tersebut? Menurut Anwar, sebenarnya wajar-wajar saja kita merayakan perbedaan dan keberagaman. "Namun, seperti yang pernah ditegaskan Elisabeth Schssler-Fiorenza, otonomi teks tetap perlu kita hormati supaya tidak menafsirkannya sewenang-wenang menurut selera dan kepentingan kita," kata Anwar mengutip pandangan mahaguru Perjanjian Baru dari Univeritas Harvard, AS, itu.
Dengan kata lain, kata dia, kita tetap perlu berpegang pada pemahaman yang "bertanggung jawab", tentunya dalam batas-batas yang mungkin ditentukan. Pelajari teks dalam konteks terdekatnya, dalam konteks kitab seluruhnya, dalam konteks kitab-kitab sejenis, dalam konteks seluruh Alkitab.