Lihat ke Halaman Asli

Alex Japalatu

TERVERIFIKASI

Jurnalis

Identitas Politis Jangan Dipahami Dari Sudut Pandang Teologis (Bagian 2)

Diperbarui: 5 Desember 2022   17:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tembok Ratapan (Sumber: Sally Piri via Kompas.com)

"Apakah ada kaitan antara negara Israel saat ini dengan  "Israel baru" yang disebutkan dalam Alkitab?"  tanya saya.

Menurut Anwar Tjen, ada sebentuk kontinuitas antara Israel versi Alkitab dan negara Israel yang kita kenal saat ini. Walau mereka telah kehilangan tanah dan kedaulatannya sebagai bangsa,  orang Yahudi tetaplah ahli waris Yakub.

"Bukanlah suatu kebetulan ada hubungan nama 'Yahudi' dan 'Yehuda', salah seorang anak Yakub," ujar Anwar.

Dalam situasi terbuang dari tanah leluhurnya, menurut dia, mereka memahami bencana nasional tersebut sebagai hukuman Tuhan atas ketidaksetiaan para leluhurnya. Oleh sebab itu, mereka memimpikan suatu pemulihan keadaan mereka kelak seperti masa kejayaan Daud.

"Nabi Yehezkiel yang bernubuat di Babel menjelang akhir abad ke-7 sebelum Masehi, misalnya, menyatakan, mereka akan dikumpulkan kelak dari antara bangsa-bangsa dan negeri-negeri tempat mereka berserak.  Tuhan sendiri berfirman, "Aku akan memberikan kamu tanah Israel" (Yeh 11.17). Dalam lintasan sejarah, firman Tuhan ini belum pernah digenapi sepenuhnya. Tanah Israel telah menjadi tanah milik bangsa lain. Demikian situasinya sampai tahun 1948 tatkala negara Israel diproklamasikan."

Lantas, apakah Israel politis ini dapat disebut Israel baru?

Menurut Anwar, bagi mereka yang meyakini penggenapan nubuat seperti di atas meyakini bahwa negara Israel saat ini adalah Israel Baru seperti disebutkan dalam Alkitab. Namun yang  harus digarisbawahi menurut dia adalah, banyak yang hanya memanfaatkan ayat-ayat suci untuk melegitimasi klaim mereka atas tanah Palestina.

"Padahal, tidak semua kaum Zionis itu religius dan percaya pada Alkitab! Tetapi, mereka rupanya sadar, ayat-ayat suci masih cukup efektif untuk dijadikan alat pembenaran."

Menurut Anwar, persoalannya memang menjadi lebih rumit bila teologi dirajut dengan politik praktis. Siapa sesungguhnya "Israel baru"? Jawabannya tergantung pada bingkai teologisnya. Dalam lensa iman Kristen, seperti yang ditegaskan oleh Paulus, Israel baru dapat dilihat sebagai anak-anak Abraham yang sejati, yakni mereka yang hidup dari iman Abraham (Gal 3.7). Jadi, bukan hanya orang-orang yang merupakan keturunan Abraham secara lahiriah (Rm 2.28).

Tetapi jebakannya justru terjadi pada titik ini, yakni identitas politis dipahami dari sudut pandang teologi. Sebab, teologi akan dibaca dengan lensa dan kepentingan yang berbeda-beda dan gampang dibenturkan dengan segala bentuk keyakinan lainnya.

"Karena itu, sebaiknya kita tidak melihat  fenomena negara Israel serta merta sebagai Israel baru yang ditopang oleh janji ilahi. Kita bisa bayangkan betapa besar konflik yang bakal tersulut bila setiap kelompok atau umat beragama cukup berpegang pada keyakinan religius yang diajarkan kitab sucinya untuk mengklaim kedaulatan sendiri tanpa mempedulikan realitas politik dan tatanan hukum yang berlaku kini dan di sini," kata Anwar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline