Kalau saja tak ada papan nama berwarna biru di depan, barangkali orang tak tahu kalau yang berada di balik gundukan tanah berpagar tinggi dan rindang pepohonan di Jalan Arief Rahman Hakim, di seberang Tugu Tani, Jakarta Pusat, adalah sebuah gereja.
Saya menyebut nama seseorang saat tiba di sana. Satpam yang bertugas di depan menunjuk bangunan dua tingkat bercat putih.
"Lurus, terus belok ke kiri," kata dia.
Taman Rindang
Jalannya beralas kerakal, diteduhi pohon-pohon mangga, rambutan, jambu air, beringin, kelapa dan berjenis tanaman lainnya. Sebaris kamboja berbunga ungu sedang mekar di ujung jalan.
Tetapi bagian lain dari jalan itu dilapisi semen agar tak becek saat hujan. Saya seperti masuk ke hutan kecil, dengan cericit burung yang riuh, tetapi ini di tengah Jakarta yang sumpek dan berisik.
Di depan pintu datang menyambut Soleman Ndappa Ayi, lelaki paruh baya berkulit gelap, memakai kemeja bergaris putih-coklat. Tetapi desis huruf "s" yang ia tarik panjang pada dialeknya ketika berbicara begitu lekat di telinga saya.
"Dari Sumba?" saya menebak saja.
Soleman tertawa lebar. "Saya orang Anakalang. Saya administrator di sini, di Kantor Nasional Gereja Anglikan Indonesia (GAI)," jelasnya. Soleman merangkul pundak saya.
Anakalang berada di bagian tengah Pulau Sumba dan masuk ke dalam Kabupaten Sumba Tengah. Mayoritas penduduknya memeluk Kristen Protestan.
Banyak pendeta dari Sinode Gereja Kristen Sumba berasal dari sini. Tetapi ini kali pertama saya berjumpa orang Sumba yang menjadi anggota Gereja Anglikan.