Kalau Anda bertepatan lewat di depan RS Santo Karolus di Jakarta Pusat, persis di seberangnya adalah Gedung Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), di Jalan Salemba Raya No.10. Ia lembaga yang membawahi 88 sinode Gereja Protestan di Indonesia. Posisinya seperti KWI untuk umat Katolik atau Muhammdiyah dan Nahdlatul Ulama bagi umat Islam di Indonesia.
Untuk menulis tentang PGI, saya mewawancarai Pendeta Andreas A. Yewangoe (77), ketua PGI periode 2006-2014 yang kini menjadi Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Saya juga ngobrol dengan Pendeta Gomar Gultom yang kini menjadi Ketua Umum PGI hasil Sidang Raya PGI di Waingpau, Sumba pada 2019 lalu.
Pendeta Gomar mengenakan kopiah hitam yang sesekali ia perbaiki letaknya. Hari itu ia berkemeja koko berwarna putih, dipadu celana panjang hitam. Sarung bermotif kotak-kotak diselempangkan di lehernya.
"Ini pakaian ala Betawi, wajib seminggu sekali," ia memberi penjelasan.
=000=
Keinginan untuk menulis kiprah lembaga PGI sudah lama muncul, setidaknya sejak periode kedua Pendeta Andreas Yewangoe menjabat sebagai ketua umum. Tentang gedung PGI yang lama, saya ingat cerita beliau menjelang sore dalam mobil, ketika saya mengikuti kegiatannya dalam sehari penuh. Kata Yewangoe, seorang ibu pernah singgah ke kantor yang lama itu dan berdoa begini:
"Tuhan berilah kesanggupan kepada pengurus PGI yang baru agar mampu membangun kembali gedung paling kumuh di Jakarta Pusat ini."
Saya tertawa lepas. Yewangoe seperti biasa, hanya tersenyum dikulum.
Perlu waktu empat tahun untuk melihat kemanjuran doa tersebut. Pada Rabu 19 Maret 2014 gedung PGI yang baru, lima lantai, yang menelan biaya sekitar Rp 30 miliar selesai dibangun.
"Hari ini kita melakukan topping off (pengatapan), artinya tidak ada lagi pembangunan ke atas selain kita menyelesaikan interior dan eksteriornya," kata Edwin Soerjajaya, ketua pembangunan. Edwin adalah putra taipan pemilik Astra, Om William Soerjajaya (alm).
=000=