Terkait pariwisata di Sumba, terutama karena menyajikan wisata budaya (dan alam), ada satu hal yang menjadi perhatian para pelaku wisata, yakni ritual tradisional tidak diadakan atas permintaan pemerintah atau rumah produksi.
Sebab acapkali untuk mendongkrak kunjungan wisatawan, ritual diadakan untuk kepentingan ditonton atau disyuting.
Apapun alasan di balik itu, misalnya untuk dokumentasi adat dan kebudayaan setempat, atau demi pemasukan yang besar, menurut saya tidak pada tempatnya dilakukan. Sebab masyarakat pemilik ritual tersebut sudah mempunyai jadwal dan aturannya sendiri. Seperti juga hari besar agama samawi, tidak bisa dimajukan atau diundur. Sebab sudah menjadi keyakinan. Doktrin.
Kalau kita cermati, tabiat ini mudah ditemukan di mana-mana. Para pemilik kapital intensinya hanya pada bagaimana melipatgandakan keuntungan. Atau agar tujuan mereka tercapai. Mereka kerap tak perduli bahwa ritual adat adalah DOA kepada Sang Maha Agung. Maka waktu dan tempat sudah terjadwal. Ritual ini untuk acara ini, di sini. Liturginya sudah tersedia.
Maka saya kagum pada kawan-kawan yang menjadi dinamisator Festival Wai Humba IX yang akan dilaksanakan pada 17-20 November 2022 di Kampung Adat Wundut, Lewa, Sumba Timur. Semua serba swadaya. Masing-masing suku membawa bahan makanan tradisional dan hewan kurban sendiri untuk disatukan dalam acara tersebut.
"Sejak Festival Wai Humba pertama hingga kedelapan, kami selalu utamakan keswadayaan. Dan terlaksana dengan baik," kata Triawan Umbu Mahakati, Dinamisator Festiwal Wai Humba.
Tahun 2019 atau 2018, Dinas Pariwisata Kabupaten Sumba Brat Daya, NTT pernah memajukan jadwal ritual pasola, yakni atraksi saling lempar lembing antara dua kelompok besar suku-suku di Kodi. Demi kepentingan promosi wisata.
Protes datang dari banyak kalangan. Atraksi pasola tidak bisa dilaksanakan pada sembarang waktu, sebab ia terkait dengan ritual yang lebih besar yakni pungut Nyale atau Nale, yang boleh dikatakan sebagai Tahun Baru bagi penganut Marapu di Kodi, Lamboya dan Wanokaka. Jadwalnya setiap tahun sudah tetap: Pada hari ketujuh setelah purnama pada bulan kedua dalam tahun. Itu berarti sekitar akhir Februari atau awal Maret dalam kalender masehi. Pada saat itulah masa sakral (paddu) beralih ke masa profan (kabba). Saat pesta-pesta adat boleh digelar.
Dan yang menentukan jadwalnya bukan pemerintah. Tetapi Rato Marapu, yakni ketua para imam Marapu dari berbagai kampung besar (parona). Keputusan diambil dalam sebuah rapat penuh doa-doa. Dengan menyembelih ayam dan babi sebagai kurban.
Saya terhenyak, apapun alasan di balik itu, membaca tentang ritual adat Bersoyong di IKN Nusantara seperti diberitakan Kompas.id, Senin (7/11/2022). Saya kutipkan penggalan tulisan itu dan kata-kata Sibukdin (58) Ketua Adat Suku Balik, salah satu suku yang mendiami kawasan calon pusat negara tersebut:
'Itu adalah pertama kalinya bersoyong kembali dilakukan setelah puluhan tahun tak pernah lagi dipraktikkan di kampung tersebut, kawasan Sepaku Lama. Kegiatan itu disiapkan mendadak lantaran rumah produksi yang mengerjakan tugas dari pemerintah pusat itu mepet mengabarkan Sibukdin. Akhirnya, sejumlah sesaji yang seharusnya ada tak bisa disiapkan.