Entah bagaimana video "Kebaya Merah" itu menjadi viral dan menjadi bahan perbincangan khalayak. Saya sendiri tidak kepingin mencarinya, apalagi menonton. Sebab itu urusan pribadi dia. Apa hubungannya dengan saya? Atau misalnya kalau tokh saya tonton, apakah lalu saya akan mengikuti jejaknya bikin video yang sama? Atau khawatir moral saya atau anak-anak saya rusak? Masa, gara-gara nonton saja (misalnya) lalu akhlak saya menjadi hancur? Sedemikian rapuhnya?
Saya menilai warga kita ini sudah kelewat mengurusi hal yang menjadi ranah pribadi orang lain. Dan melakukan peng-hakiman atasnya.
Saya mencoba paham, dalam era gadget yang berkembang sangat pesat begini, batasan antara yang privat dan publik memang sangat kabur. Dan seperti sudah menjadi budaya kita untuk kepo terhadap hal yang pribadi. Wujudny antara lain seperti ini: Sudah nikah belum? Kok belum nikah? Sudah punya anak berapa? Agamamu apa? Kalau sudah menikah, mengapa belum punya momongan? Barangkali karena hidup secara komunal (ya suku, ya agama) setiap urusan privat seolah tak ada artinya. Atau minimal tak dihargai.
Di daerah kami misalnya, karena hidup masih komunal tadi, setiap keputusan yang diambil selalu bergantung pada "nanti apa kata orang?" Keputusan diambil bukan karena mesti diambil, tetapi bergantung pada penilaian orang lain. Kalau pun ada keputusan yang diambil secara pribadi, dan biasanya melawan kebiasaan umum, akan menjadi bahan omongan.
Mungkin, sikap kita yang mudah mengurusi hal privat orang lain juga didukung oleh lingkungan yang mengutuk atau menghakimi perilaku yang tak sejalan dengan keinginan kelompok yang dominan. Jadi ada dorongan yang sama, yakni "kami" lebih benar daripada "loe". Yang tidak sesuai dengan kami, yang dominan, berarti salah.
Apalagi kalau sudah memakai dalih moral. Kita sudah tak perduli pada nilai-nilai yang diyakini oleh orang yang sedang dihakimi itu, serta apa dan bagaimana latar belakang dari keputusan yang dia ambil. Maka kaum LGBTQ susah kita terima. Sebab mereka berbeda dari yang umum. Padahal mereka ada.
Suatu kali ada sebuah tulisan tentang siswa-siswa SMA Johanes De Britto di Yogya. Menyoal mengapa mereka boleh gondrong, sementara siswa dari SMA lain tak boleh. Jawaban Pak Guru Stefanus Kartono, salah seorang guru di De Britto, sangat memikat saya ketika itu. Ia mengatakan, salah satu nilai yang mereka tanamkan kepada para siswanya adalah kemerdekaan mengekspresikan dirinya sebagai seorang pribadi yang unik. Bahwa pribadi yang dididik di sana adalah makhluk yang kelak mesti memutuskan sesuatu bagi dirinya sendiri, tanpa harus terus bergelonjot manja pada orang tua atau gurunya. Maka dengan kemerdekaan yang diberikan itu, ada yang memilih boleh sedikit memanjangkan rambutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H