Di Ceukesik, salah satu Perkampungan Adat Baduy, Desa Kenekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, adalah keheningan. Hanya angin. Desau pepohonan. Gemercik sungai.
Untuk sampai ke sana kami naik kereta dari Tanah Abang, Jakarta, menuju Rangkasbitung, ibukota Kabupaten Lebak. Hanya 1,5 jam. Disambung naik bus mini yang selalu siap sedia di luar stasiun, mengantar kami ke pintu masuk Desa Kenekes.
Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki.
Ada dua jalur yang bisa dipilih. Lewat Ciboleger atau Cijahe. Kami memilih lewat Ciboleger, jalur yang biasa dipakai wisatawan. Tetapi perlu waktu sekitar tiga jam untuk tiba di Cibeo, lalu masuk ke Cikeusik di Baduy Dalam.
Lewat Cijahe kabarnya lebih singkat. Hanya perlu satu jam. Tetapi medan cukup berat. Peralatan naik gunung perlu dibawa. Tetapi siapa yang mau repot-repot panggul tas dan peralatan berat?
"Buat apa jauh-jauh dari Jakarta kalau hanya trekking satu jam?" begitu suara sebagian besar anggota rombongan.
Keputusan bulat. Lewat Ciboleger.
Tak terasa, kami sudah melewati beberapa perkampungan masyarakat Baduy Luar. Perkampungan yang modern. Ada suara radio. Musik mengalun.
Rumah penduduk berupa rumah panggung. Ada bale-bale di depannya. Kaum Baduy Luar adalah mereka yang memutuskan menerima peradaban lain. Termasuk teknologi. Meskipun sebagian besar cara hidup dan adat istiadat masih mengikuti kebiasaan yang diturunkan dari nenek moyang. Sebaliknya dengan warga Baduy Dalam.
Untuk membedakannya dengan warga Baduy Dalam bisa dilihat dari ikat kepalanya. Kaum Baduy Luar memakai ikat kepala berwarna biru. Sedangkan warga Baduy Dalam berikat kepala putih.
Di perkampungan Baduy Luar kami masih bisa berpose. Foto-foto. Sebab di dalam, ada larangan keras untuk mengambil gambar. Dalam bentuk apapun, dengan peralatan apa saja. Tidak kamera, tidak ponsel pintar.