Celin (6), keponakan saya bermain masak-masakan dengan dua temannya, di bawah pohon-pohon jambu mete yang rindang, di belakang rumah. Suara mereka kedengaran hingga ke dalam. Bercakap-cakap soal bahan apa yang akan "dimasak" dalam bahasa Indonesia. Lokasi tempat Celin bermain adalah di Homibela, sebuah kampung yang secara teritorial masuk dalam Desa Kapaka Madeta, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT.
Sabtu (30/10/2021) saya berada di Desa Mangganipi. Masih di Kodi. Anak-anak saudara sepupu saya, yang masih berusia antara 5-6 tahun berlari-larian, tertawa lucu di halaman rumah. Mereka juga berbicara dalam bahasa Indonesia.
Ketika kami berada di Manuyo Malogho, kampung di pedalaman Bangedo, Kecamatan Kodi-Bangedo masih dalam wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya, anak-anak yang riang ikut pesta pembelisan, berlari-larian dan bercakap dalam bahasa Kodi dan Indonesia. Bahasa mereka bercampur-campur.
Anak-anak yang lahir zaman milenial ini sangat akrab dengan gawai. Tontonan mereka adalah youtube, Tiktok dan aplikasi media sosial lainnya. Tampak mereka berkerumun di bawah bale-bale rumah adat, dan salah satunya memegang HP android.
Sebagai pembanding, generasi tahun 1980-an yang saya alami, kami susah sekali bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia. Ketika itu, siswa yang bisa berbahasa Indonesia dinilai siswa paling pintar dalam kelas. Sebagian besar dari kami berbicara dalam bahasa ibu, yakni bahasa Kodi.
Membandingkan dua peristiwa di atas yang berjarak 40 tahun, saya menilai bahwa Kodi atau Sumba pada umumnya sedang berada dalam masa transisi. Sumba yang makin terbuka berkat lancarnya transportasi laut, udara serta merebaknya gawai membuat banyak hal baru masuk. Orang datang dan pergi. Termasuk informasi dari berbagai belahan dunia bisa diakses. Saat ini mudah menemukan warga di kampung-kampung yang jauh dari kota memakai HP android.
Di satu sisi ini adalah kemajuan, namun di sisi lain ada beberapa hal yang saya nilai sebagai kemunduran. Antara lain semakin sedikitnya generasi muda kami yang bisa berbahasa Kodi. Saat ini ada kekhawatiran, semakin sedikitnya penutur asli bahasa daerah bisa menyebabkan bahasa tersebut punah. Kasus di Papua antara lain karena anggota dari suku tersebut yang semakin sedikit, dan bahasa ibu yang jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari.
Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 780 bahasa daerah. Namun, di beberapa daerah, jumlah penuturnya kian berkurang. Seperti dilansir Kompas.id (28/10/2021) ancaman kehilangan bahasa terutama telah terjadi di Papua. Dari 271 bahasa yang ada, demikian dicatat Kompas, 56 di antaranya terancam punah. Di Maluku, dari 80 bahasa, 22 bahasa hampir punah dan 11 telah punah. Di NTT ada dua bahasa yang jumlah penuturnya semakin sedikit dan terancam punah, yakni bahasa Nedabang dan Adang.
Sebab itu, di Mangganipi seperti saya sebutkan di atas, sekarang ada "pelajaran" tambahan bagi generasi milenial ini yakni belajar kosa kata bahasa Kodi. Baju disebut apa, hidung, mata, tangan, kaki dan sebagainya.
Masyarakat kami di Kodi memang mengalami gegar budaya yang luar biasa. Suatu ketika saya ketemu seoang anak muda sedang memegang HP android yang disambungkan dengan earphone ke telinganya. Dia tampak tertawa-tawa, menggoyang-goyangkan kepala, mengikuti irama lagu dangdut di dalamnya.
"Minta nomer kontakmu," kata saya.