Saya ambil sebuah contoh kasus, dari daerah yang jauh dari Jakarta, yakni di Kabupaten Sumba Timur baru-baru ini, yakni korupsi pada Dinas Pendidikan dengan cara mengelabui data pegawai yang tidak akurat. Lima PNS akhirnya divonis penjara pada Februari 2022 lalu setelah mereka menggelapkan uang negara sebesar 7,3 miliar rupiah.
Modusnya, para pelaku tetap mencantumkan nama ASN pada Dinas Pendidikan yang sudah tidak berhak mendapatkan gaji dan tunjangan karena pensiun, meninggal dunia, mutasi eksternal, pemberhentian tidak hormat dan cuti di luar tanggungan negara.
Pemerintah tetap membayari para ASN di atas, tapi uangnya berpindah ke kantong pribadi para pelaku. Alhasil, selama dua tahun itu mereka bisa mengembat duit negara sebesar satu miliar rupiah.
Tak berhenti di situ. Mereka juga menggelapkan kekurangan pembayaran gaji non guru dan guru TK, SD, dan SMP pada 2019 senilai 6,3 miliar. Tak ada yang tahu sebelum para guru melakukan protes. Karena sudah rame-rame, pihak Inspektorat turun melakukan pengusutan.
Penyebab utamanya adalah data yang tidak akurat. Andai akurat, sejak awal sudah bisa terdeteksi bahwa ada permainan di sana.
Kasus yang lebih besar gara-gara ketidakakuratan data terjadi pada tahun 2021. Sebanyak 97.000 PNS fiktif yang terdata di Badan Kepegawaian Negara (BKN) mendapatkan gaji, lengkap dengan tunjangannya selama bertahun-tahun.
"Ternyata hampir 100.000, tepatnya 97.000 data itu misterius. Dibayarkan gajinya, membayar iuran pensiun, tapi tidak ada orangnya," kata Kepala BKN Bima Haria Wibisana, seperti ditulis https://nasional.kompas.com/read/2021/05/25/21025701/penjelasan-bkn-soal-97000-data-pns-yang-misterius.
Kita tahu bahwa setiap Kabupaten/Kota di Indonesia diwajibkan memiliki website Badan Pusat Statistik (BPS). Semua data yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan (diasumsikan) terpampang di sana. Juga kondisi perekonomian dan sosial warganya. Kalau mau mencari berapa jumlah penyandang disabilitas di sebuah kabupaten misalnya, kita tinggal masuk dan mengutip angkanya. Jumlah petani dan nelayan, tempat pariwisata, sudah ada dalam website. Harapannya begitu.
Jadi, kalau Pemerintah Pusat dalam hal ini Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta membutuhkannya, tinggal diminta buka kuncinya, dicopy-paste, urusan selesai!
Demikian pula (harapan kita) terhadap Program Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) 2022 ini. Tapi apa hendak dikata? Maka persoalan pertama kita adalah belum memiliki basis data yang akurat, yang boleh kita sebut sebagai "big data". Alih-alih akurat, justru sebaliknya semrawut.
Keamanan Data