Ketika Ganjar Pranowo diwawancarai oleh Stasiun Berita Satu TV, Selasa (18/10/2022) yang menyibak kesediaannya dicalonkan sebagai presiden pada Pilpres 2024 nanti, ia sempat menyebut upaya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Jateng) melakukan proses alih energi dari energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT). Ganjar menyebut antara lain Gas Rawa di Kabupaten Banjarnegara, Jateng.
Pada bulan Juni 2022 lalu, selama satu minggu, kami diajak oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bekerjasama dengan Dinas Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah mengunjung beberapa desa di provinsi ini yang sudah mengusahakan EBT baik itu bersumber dari air, sampah, angin, panas bumi, surya dan gas rawa tadi.IESR adalah sebuah lembaga think-tank di bidang energi dan lingkungan yang mendorong transformasi menuju sistem energi berkelanjutan. Kekhawatiran utama lembaga ini adalah bahwa energi fosil suatu saat akan habis dan harus ada yang menggantikannya, dan tentu saja pencemaran oleh karbon dari hasil pembakarannya.
Menjelang sore kami sampai ke Desa Bantar di Kecamatan Wanayasa di Kabupaten Banjarnegara pada akhir Juni. Ini kawasan di ketinggian sekitar 1.500 meter, berada dalam lingkup Dataran Tinggi Dieng. Cuaca dingin segera menyergap. Keesokan harinya saat kami berada di Dieng, suhu jatuh di bawah nol derajat. Butiran es memenuhi ladang-ladang petani. Tanaman terkulai ke tanah.
Desa Bantar salah satu yang memiliki sumber Gas Rawa yang disinggung Ganjar di atas. Sebutannya Biogenic Shallow Gas (BSG). Ia mirip gas yang dihasilkan dari fermentasi kotoran ternak atau sampah yang disebut biomassa. Warga di desa ini telah puluhan tahun menyadari bahwa di beberapa ladang milik mereka ada sumber gas, namun belum tahu cara memanfaatkannya. Sebab pada lokasi gas berada tanaman sukar tumbuh, dan gas yang terhirup berbau menyengat, mereka menyebutnya "tanah busuk". Anak-anak bahkan menjadikannya arena bermain, dengan menancapkan bambu dan membakar ujungnya. Tentu saja api bernyala!
Bedanya dengan biomassa dari kotoran ternak adalah, BSG ini terbentuk akibat reduksi karbon (Co2) oleh bakteri dari batuan vulkanik magmatik. Dus, Dataran Tinggi Dieng penuh dengan aktivitas vulkanik tinggi. Ia salah satu gunung berapi purba yang masih aktif. Salah satu hasilnya adalah gas tadi. Yakni BSG dengan tekanan rendah. Karena jaraknya dekat ke permukaan tanah itulah membuatnya mudah menerobos celah-celah dan muncul ke permukaan.
Tahu ada BSG di sana, ESDM turun tangan. Melakukan penelitian. Oh, ternyata bisa dimanfaatkan seperti gas elpiji yang kerap dipakai untuk keperluan rumah tangga. Bisa dipakai menanak nasi, menumis sayur, menggoreng ikan dan keperluan lainnya. Tapi bedanya adalah gas ini bersumber dari dalam tanah.
Maka ia disedot ke atas pakai kompresor, ditampung di tabung yang lain dan disalurkan pakai pipa pvc ke rumah-rumah warga. Tentu ada hitungan-hitungan teknisnya, supaya tidak meledak dan menyebabkan kebakaran. Warga senang, karena mereka tak perlu lagi membeli gas. Waktu kami ke sana, Eko Purwanto, sang kepala desanya bilang, sudah seratus kepala keluarga yang memakainya. Eloknya lagi, ada beberapa titik di desa itu yang belum tersentuh sama sekali. Dan bisa dieksplorasi. Dananya pakai uang BUMDes. Sebab mereka yang mengelola pemanfaatannya.
Ternyata tidak hanya di Desa Bantar ada Gas Rawa ini. Ia juga ada di Desa Pegundungan di Kecamatan Pejawaran. Juga di Kecamatan Ngrampel Sragen, di Sumowono Semarang, Cipari di Cilacap, Godong dan Wanayasa di Grobogan.
Ganjar Pranowo waktu meresmikan pemakaian BSG di Pegundungan sangat optimis bahwa Desa Mandiri Energi bisa diwujudkan di Jawa Tengah.
Saya ikut senang. Dalam hati: Inilah manfaat dari iptek. Kekuatan alam bisa dipakai untuk kesejahteraan manusia melalui EBT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H