Lihat ke Halaman Asli

Alex Japalatu

TERVERIFIKASI

Jurnalis

Menuju Festival Wai Humba 2022

Diperbarui: 20 Oktober 2022   19:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peserta Festival Wai Humba  tahun 2018 (Dok.Wai Humba) 

"Kami off dua tahun terakhir ini, yakni tahun 2020 dan 2021 karena Pandemi Covid-19. Dalam rencana Festival Wai Humba yang ke-9 akan digelar di Kampung Wundut di Lewa, Sumba Timur. Warga di sana sangat antusias menjadi tuan rumah. Doakan sebelum akhir tahun 2022 sudah bisa terlaksana," harap Triawan Umbu Uli Mahakati, Dinamisator Festival Wai Humba IX di Waingapu, akhir September 2022. Tri adalah seorang aktivis LSM. Ia menjabat Sekretaris pada Yayasan Koppesda Sumba.   

Menurut Tri, Festival Wai Humba lahir sebagai bentuk perlawan terhadap eksploitasi industri pertambangan emas yang pernah mengemuka di Sumba pada awal tahun 2012. Perlawanan para pemilik hak ulayat di mana tambang akan beroperasi telah melahirkan kekerasan oleh aparat dan pemilik modal. Tiga warga dari Lakoka di Sumba Tengah dipenjara karena melakukan perlawanan terhadap upaya pengrusakan di atas wilayah Gunung Tanadaru. Kawasan ini adalah bagian dari Taman Nasional Manupeu-Tanadaru.

"Diberi nama Wai Humba karena nenek moyang orang Sumba sangat mengharga air (wai, wee, weyo) sebagai sumber kehidupan. Bahkan empat kota utama di pulau ini diberi nama yang terkait dengan air; Waingapu (Sumba Timur), Waibakul (Sumba Tengah), Waikabubak (Sumba Barat) dan Weetabula (Sumba Barat Daya). Wai atau air di Sumba sangat dihargai karena ia yang memberikan kehidupan dan menghidupi segala sesuatu di atas tanah ini," jelas Tri. Sumba dalam dialek banyak suku di pulau ini dilafakan secara berbeda: Humba, zuba, dan lain-lain.

Menurut Haripranata (1984), [1] dalam bahasa daerah Sumba, huruf H kerap kali berubah menjadi Z atau S. Misalnya kata "Kabihu" di Sumba Timur akan menjadi "Kabisu" atau "Kabizu" di Sumba Barat. Untuk mempermudah penyebutan dan menyatukan seluruh wilayah pulau itu, kata Humba diganti menjadi Sumba yang digunakan hingga hari ini.

Permainan gasing, salah permainan tradisional di Sumba (Sumber: Waingapu.com) 

Terdapat empat gunung di Pulau Sumba yakni Gunung Wanggameti (Sumba Timur), Gunung Tanadaru (Sumba Tengah), Gunung Purunobu (Sumba Barat) dan Gunung Yawila (Sumba Barat Daya).  Keempat gunung beserta seluruh kawasannya adalah penopang utama kehidupan masyarakat Sumba sebagai sumber air, sandang, pangan dan papan. Empat kawasan ini sejak dahulu telah dilindungi dan dijaga oleh leluhur dengan cara "dikeramatkan" yakni dijaga kelestariannya agar tetap memberi kehidupan.

Salah satu bentuk menjaga kelestarian alam yang dilakukan oleh nenek moyang orang Sumba, menurut Tri, adalah ritual "Kalarat Wai" atau "Pa Erri Wee", yakni ritual sembahyang yang dilakukan di lokasi mata air atau sungai dan danau, meminta perlindungan dan pemeliharaan dari  Sang Pencipta.

"Ritual Kalarat Wai ini masih sering dilaksanakan oleh penganut Marapu di Tanggedu, di bagian utara Sumba Timur," kata Tri.

Setiap lokasi yang berpengaruh bagi penghidupan dikunjungi secara rutin untuk dilakukan sembahyang dengan menetapkan aturan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada sumber itu, beserta sanksi bagi yang melanggarnya. Namun seiring kemajuan zaman, nilai-nilai  kearifan lokal pelestarian alam ini perlahan mulai pudar dan dilupakan. 

Ritual Hamayang penganut Marapu di Sumba (Sumber:lekonntt.com) 

"Nenek moyang kita sejak dahulu kala sudah memiliki cara untuk menjaga keberlangsungan hidup dan interaksi antar makhluk di atasnya. Supaya ada hubungan yang seimbang. Tetapi sekarang justru yang terjadi adalah eksploitasi tanpa batas terhadap alam," kata Tri kepada saya.

Acara Tahunan 

Festival Wai Humba pertama dimulai pada tahun  2012, dan sejak itu menjadi acara tahunan yang dilaksanakan secara bergilir pada empat wilayah gunung di Sumba. Festival Wai Humba I dilaksanakan tahun 2012 di Paponggu, Lakoka di kawasan Gunung Tanadaru, Sumba Tengah;  Wai Humba II (2013) di Uma Padde, Dikira, di lereng Gunung Yawila, Sumba Barat Daya;  Wai Humba III (2014) di Ramuk, Gunung Wangga Meti, Sumba Timur;  Wai Humba IV (2015) di Paponggu, Lakoka;  Wai Humba V (2016) di Kadahang, kawasan Tanjung Hahar; Wai Humba VI (2017)  di Kampung Tabera, Doka Kaka, kawasan Gunung Puru Nobu, Sumba Barat; Wai Humba VII (2018) di Ekapata, Wewewa, Sumba Barat Daya, dan Wai Humba VIII (2019) di Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline