Lihat ke Halaman Asli

Alex Japalatu

TERVERIFIKASI

Jurnalis

Kenangan Kebesaran Raja Sumba di Kampung Prailiu

Diperbarui: 7 September 2022   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis di depn Rumah Galeri Seni Tenun IKat di Kampung Prailiu, ST (Dokpri)

Rabu 7 September 2022 usai bertemu Kepala Dinas Sosial Kabupaten Sumba Timur dan beberapa Pekerja Sosial (Peksos) di dekat RSU Umbu Rara Meha, saya bersama Direktur Nasional Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) Angelina Theodora bersama beberapa stafnya, mengunjungi Kampung Raja di Desa Prailiu, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur. Kampung Raja adalah kampung tradisional yang masih melestarikan tenun ikat, rumah panggung dari bahan alam serta batu kubur megalitik.

"Yang ujung sana itu yang paling besar makamnya Tamu Umbu Rihi Eti yang sekarang menjadi nama stadion pacuan kuda. Kubur yang tengah itu makam Umbu Rara Meha yang dibadikan sebagai nama rumah sakit umum. Sementara kalau yang ujung kiri ini makamnya Tamu Umbu Djaka yang wafat tahun 2008. Pengganti Raja Lewa Kambera sekarang seorang ASN, keturunan langsung Bapa Raja," kata Karyawati Liwar, atau biasa disapa Mama Renold.

Ia menjelaskan bahwa Kerajaan Lewa-Kambera pada zaman kolonial Belanda mencakup seluruh wilayah yang didiami Suku Kambera, sejak dari Lewa di sebelah barat hingga Kadumbul di sisi timur. Kedua daerah ini berjarak sekitar 100 km dari ujung ke keujung.

Makam Tamu Umbu Rihi Eti (Foto:Lex) 

Dicky Takanjanji menunjuk dua rumah lain yang beratap seng kepada saya. Ia menjelaskan, kedua rumah ini didirikan pada tahun 1918 dan belum mengalami renovasi.

"Yang depan pohon Beringin itu kantor Swapraja. Sementara di samping rumah kami ini tempat tinggal raja," kata Dicky.

Rumah bekas kantor Swapraja Lewa-Kambera (Foto:Lex) 

"Rumah beratap alang yang menaranya menjulang itu disebut Uma Hori. Di sana acara-cara adat dilangsungkan," jelas Liwar lagi.

Yang luar biasa bagi saya adalah makam berupa kubur batu seberat 50 ton. Zaman itu, sebut saja pada 1978 ketika raja yang terakhir wafat, lempengang batu mesti ditarik dengan tenaga manusia dari tempat yang jauh. Tepat pada hari pemakaman, setahun kemudian, ratusan lembar kain tenun Sumba ikut dimasukkan ke dalam batu kubur. Batu kubur itu juga berhiaskan pahatan gambar rusa, kuda, buaya dan penyu.

Para ibu perajin dan penjual kain tenun ikat (foto:Lex) 

Di depan kami berdiri megah sebuah rumah yang lain. Itu adalah rumah Galeri Seni Tenun Ikat Sumba yang pendiriannya dibantu oleh dana social dari Bank Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline