Selain Karl May yang menulis serial Winnetou seperti sudah saya singgung kali lalu, Majalah Intisari dari Kompas-Gramedia Grup telah ikut "membentuk" kesukaan saya terhadap dunia tulis-menulis. Baca: pembual besar itu telah menyihir saya
Tetapi bagaimana caranya bagi kami yang tinggal di pelosok Pulau Sumba di NTT itu, pada tahun 1980-an itu, bisa mendapatkan Majalah Intisari yang dicetak dan diterbitkan di Jakarta? Sebab seperti kau tahu kawan, Pulau Sumba masih "tertutup" dari pergaulan dengan daerah lain hingga awal tahun 2000-an lantaran diganjar oleh keterbelakangan dan isolasi komunikasi dan transportasi yang terstruktur dan massif. Kami memang punya dua bandara dan dua pelabuhan laut, sisa-sisa peninggalan Belanda dan Jepang. Namun jarang dikunjungi pesawat dan kapal laut. Mestinya ada tiga bandara, tetapi yang satunya sudah kembali berubah ke wujud aslinya menjadi padang savanna, sebab tak pernah lagi dipakai sejak Jepang menaruh puluhan pesawatnya di sana pada 1945, demi menyerang Sekutu di Australia. Saya masih sedang meriset hal ini.
Meskipun tidak selancar sekarang, yang setiap hari ada lima penerbangan dari Denpasar maupun Kupang, kala itu ada "Merpati" yang tak pernah ingkar janji, meskipun hanya sekali atau dua kali ia datang dalam satu bulan, hingga nafasnya benar-benar dinyatakan "putus" pada suatu ketika. Maskapai inilah yang ditumpangi para imam, pastor Gereja Katolik, yang berkarya di Sumba, membawa serta buku-buku dan majalah dari kolega mereka di Jakarta dan Yogyakarta.
Pasti bukan majalah baru. Tetapi bukankah yang belum pernah kita baca, entah buku atau majalah, adalah buku dan majalah baru bagi kita? Maka dari Homba Karipit di Kodi, di mana berdiri gereja Paroki, Majalah Intisari dan juga Tempo mengalir ke stasi-stasi. Dari Pastor Kepala sebagai pemimpin paroki dipinjamkan kepada para guru agama yang membantunya menjaga iman anggota jemaat di tingkat paling bawah. Demikianlah Intisari sampai ke tangan saya, setelah ia dipinjamkan oleh Pater Moses Beding, CSsR (alm) kepada ayah saya yang seorang guru agama.
Kalau sudah ketemu Intisari, saya benar-benar seperti lupa daratan. Tak akan dilepas sebelum halaman terakhir selesai dibaca. Sampai diteriaki. Soalnya banyak tugas lain: Ambil rumput kuda, cari kayu api, memasak untuk adik-adik, atau menggiring kerbau ke sungai. Esoknya dibaca ulang lagi, lagi dan lagi. Sampai tamat beberapa kali, sebelum pemberian berikutnya datang.
Kawan bayangkan, kalau pinjaman berikutnya baru datang tiga bulan lagi, dan hanya ada satu Majalah Intisari itu di tangan, kertasnya pasti sudah mau koyak. Kotor. Berdaki. Sebab dibaca berulang-ulang.
Semua artikel di dalamnya saya baca. Namun yang paling menggoda adalah kolom "flora & fauna" yang ditulis Slamet Soeseno (1927-2001). Gayanya saya suka. Deskripsinya top. Persoalan yang ilmiah seperti "lumer" saja di tangannya. Menjadi sederhana. Tentang burung kaka tua, mudah saya serap. Padahal baru kelas 4 atau 5 SD. Juga soal ikan. Tentang belut. Judul-judulnya memicu rasa ingin tahu: "Skandal Sex di Dunia Belut", atau "Dosa-Dosa Burung Kolibri", dstnya.
Entah bagaimana, tulisan Slamet Soeseno membuat yang sukar bisa mudah dipahami oleh orang awam. Bahkan anak sekolah dasar seperti saya. Sebab apa-apa yang terlalu jauh di atas awan ilmiah, segera ia turunkan ke bumi. Mendarat manis! Jujur, salah satu penulis yang selalu ingin saya tiru gayanya dalam menulis adalah Slamet Soeseno.
Jauh hari kemudian, ketika sudah di Jakarta, saya ketemu dan kenal beberapa redaktur Intisari, antara lain Mayong Suryo Laksono, karena kami bergabung dalam Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI). Saya bahkan beberapa kali mewawancarai Mas Mayong.
Tetapi kali itu bukan tentang Intisari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H