Akhirnya kesampaian juga niat saya masuk ke Pasar Pagi di Jalan Keramat, Sambas, yang menjulur sekitar 500 meter. Kedua sisi jalan dipakai untuk berjualan. Macam-macam sayuran, ikan dan daging. Tentu juga warung-warung kopi yang mulai ramai sejak subuh. Segelas kopi pahit, dan sepiring lontong beserta 5 tusuk sate. Bekal mengarungi hari. Carpe diem!
Selepas Gereja Katolik Sambas ke arah pasar adalah 2 kilometer dari penggalan Jalan Gusti Hamzah. Pasar Sambas sedang ramai. Toko-tokonya berupa bangunan tua mau pun baru, tetapi "ditutup" oleh pedagang kaki lima dan penjual pakaian. Saya seperti menemukan atmosfir Jalan Malioboro di Yogyakarta. Tetapi ini di Sambas. Hari Minggu ternyata lebih ramai.
Menjelang pasar terdapat jalan-jalan kecil pada sisi jalan utama, di mana berderet-deret warung kopi. Salah satunya adalah Warung Kopi (warkop) "Enak". Saya penasaran, mengapa sebagian besar anak muda tumpah di warkop ini?
"Dahulu di sini juga banyak orang tua. Setahun terakhir ini tiba-tiba saja menjadi warkop anak muda," kata Oyo, teman satu meja, berkisah.
Oyo, model anak muda perkotaan. Rambutnya "army cut". Pipa rokok elektronik ia gantung di leher. Telinganya dipasangi anting. Sebentar-sebentar segumpal besar asap mengepul dari mulutnya.
"Abang kayaknya orang baru di sini?" tanya dia.
"Bagaimana bisa tahu?" saya balas bertanya.
"Jarang yang pakai tas punggung kalau datang ngopi," jawab Oyo.
Oh ya, peralatan "tempur" memang sering saya bawa ke mana-mana. Dalam tas punggung atau jenis tas lainnya. Meskipun sekarang jarang panggul kamera lagi, sebab berat.
Oyo suka bercerita. Ia berkisah soal kopi hingga peristiwa kacau sosial di Sambas pada 1999.
"Saya masih kelas 2 SD. Tapi ingat persis yang terjadi. Di sana itu, dahulu ada kepala orang digantung," ujarnya. Ia menunjuk pertigaan pasar, berjarak 200 meter dari tempat kami duduk.