Jejak kolonial Belanda di Pulau Sumba, NTT antara lain dapat dibaca dalam buku Wona Kaka, Perang Melawan Belanda di Kodi 1911-1913 [1].
Buku ini berisi tentang perang rakyat Kodi di bawah pimpinan Rato Loghe Kanduyo, dan kemudian dilanjutkan oleh Wona Kaka, seorang kesatria dari Parona (kampung) Bongu, ketika di Kodi masih kerap terjadi perang antar suku seabad silam itu.
Rupanya perlakuan Belanda menarik pajak yang tinggi, menerapkan kerja rodi dan melakukan perkosaan terhadap perempuan di sana, telah memicu perang itu.
Rakyat Kodi akhirnya memiliki musuh bersama yang mesti dilawan yakni tentara Belanda, bukan lagi suku lain dengan mengayau kepala yang kalah.
Perang Kodi berlangusng hampir tiga tahun yang berujung pada penangkapan Wona Kaka dan 68 anggota Laskar Kodi dalam sebuah perjanjian damai di Bondo Kodi.
Dalam rangka HUT 77 RI, saya tidak membahas hal di atas, tetapi tentang pembentukan sistem pemerintahan oleh Belanda yang diwariskan sampai kini di Sumba.
***
Pemerintah Hindia Belanda mulai menguasai Pulau Sumba sejak tahun 1866. Ketika itu, Sumba menjadi bagian dari Keresidenan Timor termasuk Pulau Flores, Timor, Sumbawa serta pulau-pulau lain di sekitarnya.
Sistem keresidenan dibuat oleh Belanda agar bisa menguasai dan mengontrol dan menjamin kepentingan mereka.
Dalam perkembangannya, Keresidenan Timor dibagi dalam afdeeling-afdeeling yakni: Afdeeling Sumba, Flores, Sumbawa, dan Timor. Masing-masing afdeeling dikepalai oleh seorang asisten residen.