Rupanya, begitu badan diletakkan di atas dipan, dunia sekeliling telah hilang dan pagi-pagi buta cericit burung-burung dari pohon rambutan di sisi jendela membuat saya terbangun.
Angin segar menerpa masuk. Sawah menghampar luas di seberang jalan. Baru saja dibajak. Masih digenangi air dan tampak keemasan diterpa matahari pagi.
Saya sadar sedang berada di Wisma Padepokan Kyai Sadrach di Karangjoso, Desa Langenrejo, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Saya dijemput Mulyono, Jurukunci Makam Kyai Sadrach, di Rumah Makan Sumber Alam di Andong, sekitar 16 km sebelah barat Kota Purworejo. Dari jalan besar kami naik motor menembus malam sejauh 6 km ke selatan. Mula-mula jalan beraspal mulus, tetapi kemudian berbatu-batu dan rusak di sana-sini. Di kiri-kanan kami hanya ada hamparan sawah. "Sudah dua periode bupati berjanji akan mengaspalnya. Tapi janji tinggal janji. Kita lihat lagi periode berikut," keluh Mulyono. Ini jalan utama menuju Padepokan Kyai Sadrach.
Di padepokan telah menanti Purwanto Nugroho dan Pujoharjono. Keduanya pengelola. "Saya pikir besok karena kabar dari Pak Lukas baru besok Anda sampai ke sini," ujar Purwanto. Pak Lukas yang ia maksud adalah Pendeta Lukas Eko Sukoco, pemimpin jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) Purworejo.
Obrolan kami berganti-ganti. Mengalir sampai larut. Ditemani teh dan kopi. Tetapi duduk di pendopo itu, larut malam, terbersit tanya dalam benak saya: Apakah seperti ini dahulu 141 tahun silam, saat Kyai Sadrach berbincang dengan para cantriknya tentang "ilmu" baru bernama Injil?
"Posisi dan bentuk pendopo masih seperti sediakala. Yang beda hanya lantainya. Dulu masih tanah dan kemudian semen biasa. Sekarang diganti keramik," kata Pujoharjono. Padepokan ini berdiri di atas lahan seluas 1 hektar. Terdiri atas beberapa rumah, pendopo, gereja dan wisma.
Sekitar 3 meter dari pendopo, berdiri gereja yang arsitekturnya mirip masjid. Atapnya bertingkat tiga. Pada bubungannya bukan salib tetapi senjata cakra, seperti punya Rama Krishna dalam perang Mahabrata.
"Dulu Kyai Sadrach seorang muslim. Barangkali karena itu ia membangun gereja ini seperti masjid. Barangkali juga senjata Cakra ini karena ia bertemu dengan budaya Hindu," ujar Pujo.
Di sisi utara pendopo dibangun wisma, dua lantai dengan 16 kamar, tempat peziarah dan peserta ret-ret menginap. Pembangunan wisma ini seluruhnya dibiayai oleh Mayjen Pol.AA Soegijo, kala itu Kapolda Jawa Tengah.