Beberapa kali saya dengar dalam percakapan di Sumba tentang "celana umpan". Kemarin juga. Waktu beracara di SMK Pancasila di Tambolaka, Sumba Barat Daya (SBD). Sekolah ini dikelola oleh kawan lama dari Yogyakarta, Aleks Rangga Pija. Ada orang mengantar peserta acara pertemuan kepala sekolah SD yang tak mau turun dari mobil.
"Aih, saya hanya pakai celana umpan. Malu," kata dia.
Saya bertanya kepada beberapa kepala sekolah yang saya kenal. Mereka bercerita kalau yang dimaksud dengan celana umpan adalah celana pendek, ketat, yang berada di atas lutut. Dipakai oleh baik laki-laki maupun perempuan.
Oh, ternyata yang dimaksud, kalau saya tak salah duga, adalah semacam hotpants. Yang kalau Anda jalan-jalan ke mall di Jakarta, di pasar, di Citayam Fashion Week, mudah menemukan orang memakainya. Sangat modis. Dipadu t-shirt atau kemeja longgar.
Rupanya mode menembus batas-batas wilayah. Sama sekali tak masalah.
Yang jadi soal itu, kalau kita mulai mengatur-atur seseorang harus pakai apa? Atau tidak boleh pakai ini dan itu di depan umum. Dengan alasan-dan biasanya para kaum lelaki-menumbuhkan syahwat. Mari belajar menghargai cara seseorang mengekspresikan dirinya.
Soal syahwat, kalau Anda lihat tugu Monas dan syahwat Anda naik, apakah Monas akan diruntuhkan?
Otak tuh yang perlu dibenahi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H