Bonge Citayam dan para koleganya kini terkenal. Ia menjadi ikon dalam "Citayam Fashion Week" yang kini sedang viral di Jakarta. Sebuah fenomena sosial yang bisa menjadi bahan studi menarik.
Saya tidak menulis khusus soal hal di atas. Namun saya kembali ingat pakar "branding" Subiakto Priosoedarsono. Yang beberapa waktu lalu sudah saya tulis untuk keperluan sendiri. Saya juga mendengarkan lagi obrolan Subiakto dengan dengan Helmy Yahya. Tentang "brand" dan "personal branding".
Helmy dikenal sebagai "Raja Kuis" televisi. Adiknya,Tantowi Yahya, seorang politisi dan kini Duta Besar di Selandia Baru. Dikenal sebagai penyanyi country. Dua kakak-beradik ini punya "personal branding" yang kuat!
Subiakto Priosoedarsono (71) sudah 51 tahun bergelut di bidang branding. Kalau mengikuti "hukum 10 ribu jam"-nya Malcom Gladwell yang sering saya kutip, sebagai penanda bahwa seseorang sungguh ahli di bidangnya, Subiakto sudah melampauinya. Jam terbangnya sudah kelewat tinggi. Ia sungguh ahli. Hanya saja, ia tidak mau disebut pakar branding. (Soal Malcom Gladwell, silakan baca buku-buku yang diterbitkan Gramedia: Blink, The Tipping Point, David and Goliath, Outliers, dll).
"Sebutkan tujuh merk mie instan," ujarnya kepada Helmy.
Secara spontan Helmy menjawab: "Indomie, Supermie, Mie Enaak."
Helmy hanya sanggup menyebut tiga merk ini.
"Itulah 'top of mind' kita. Biasanya ada tujuh. Merk yang spontan muncul kalau ditanyai. Mengapa spontan disebut? Karena melekat dalam benak kita. Mengapa melekat? Karena dipasarkan dengan baik dan terkenal," kata Subiakto. Penjelasan Subiakto soal ini cukup panjang. Ia bicara soal rokok, bank, susu dan produk lainnya di Indonesia.
Pdahal di Indonesia, kata dia, ada lebih dari seratus merk mie!
Masuk ke "personal branding".
Menurut Subiakto, setiap yang bernama berhak menjadi brand. Tikus saja oleh Walt Disney dikasih nama yang menjadi brand: Micky. Tetapi, kata dia, orang harus berpikir bukan dari awal. Tapi dari akhir. Maksud dia seperti ini: