Masyarakat Kodi di Sumba Barat Daya, NTT, tidak memiliki peninggalan tertulis dalam sejarahnya. Saya pikir masyarakat di Sumba pada umumnya juga demikian. Setidaknya sampai sekarang, belum ada penemuan yang terkait tulisan atau peninggalan tertulis yang bisa diklaim sebagai bukti. Kesimpulannya, nenek-moyang orang Kodi belum mengenal baca-tulis.
Meskipun demikian, mereka sadar perlu meneruskan pesan kepada generasi berikutnya. Salah satu caranya adalah melalui cerita (oral traditon) berupa mitos, legenda, dan lain-lain yang menggambarkan tentang asal-usul terjadinya sebuah tempat, tentang dewa-dewi, tentang pencipta, tentang raja dan sebagainya. Cerita keagamaan atau cerita rakyat ini dianggap suci oleh mereka yang mempercayainya. Dan menjadi pegangan hidup. Bagi yang tidak mempercayainya, mitos bukan apa-apa. Hanya sebuah cerita.
Harap dicatat, di sini kita tidak bicara benar atau salah, tetapi bahwa mitos ada dan hidup dalam masyarakat. Mitos adalah suatu realitas.
Tapi kita juga perlu menerima konsekuensinya. Kian maju ilmu pengetahuan, makin terkikis kepercayaan orang terhadap mitos (demitologi). Tapi bahkan pada banyak negara maju, mitos masih hidup sampai sekarang. Orang Jepang masih menganggap sang kaisar titisan dewa matahari, meskipun keyakinan soal ini kian menipis seiring majunya ilmu pengetahuan. Pada beberapa negara di Eropa, mereka percaya pada angka sial 13. Sebab itu tak pernah ada gedung lantai 13. Dari angka 12 langsung ke-14. Di Yogyakarta ada mitos Nyai Roro Kidul yang menguasai Pantai Selatan. Di Sumba ada banyak mitos. Misalnya kisah seorang raja dari Kambera di Sumba Timur yang datang ke Yogyakarta ketemu HB IX dengan menunggang kuda, dan sebagainya.
Mitos susah dijelaskan dengan logika sebab bersifat supranatural. Tetapi bagi yang menyakininya, cerita tersebut benar-benar terjadi dan menjadi milik mereka dan memberi makna dalam kehidupan mereka.
Dalam terang ini pula kita bisa cerita tentang mitos gadis Rara Winyo di kalangan orang Kodi, yang erat terkait dengan ritual Nale/Nyale.
Rara Winyo gadis cantik se-Kodi. Banyak yang melamar namun selalu ditolak. Suatu kali dua pangeran melamarnya. Rara Winyo susah memilih. Sama-sama tampan dan kaya. Jika memilih salah satu, pasti menyakiti yang lain. Perang bisa meletus.
Rara Winyo ambil kesimpulan. Keduanya diundang ke pantai. Masing-masing pangeran membawa pasukan besar. Sang gadis berpesan, ia tidak bisa memilih salah satu dari mereka. Namun ia akan selalu datang mengunjungi mereka dalam bentuk yang lain, yang memberikan sukacita bagi semua orang. Rara Winyo terjun ke laut. Menghilang di dalamnya.
Lalu muncul cacing warna-warni. Yang disebut Nale. Yang diyakini sebagai perwujudan dari Rara Winyo. Sesuai janjinya. Memberi sukacita bagi banyak orang. Nale muncul setiap akhir bulan Februari dan awal Maret di pantai-pantai di Kodi. Yang menjadi penanda dimulainya masa profan bagi penganut agama Marapu di Kodi. Masa di mana penganut Marapu boleh menyelenggarakan pesta dan acara adat-istiadat yang meriah. Tambur dan gong boleh ditabuh. Pakaian berwarna mencolok, merah, biru, kuning, orange, boleh dipakai. Sebelum nanti pada bulan September hingga Januari tahun depan masuk pada masa sakral. Pesta-pesta adat dilarang. Sebab pada masa itu adalah waktunya membuka ladang. Menanam dan memelihara hewan ternak. Di mana buah-buahan tak boleh dipetik. Sebab nanti dipakai sebagai dipersembahkan kepada Marapu pada pesta Nale/Nyale. Hanya hasil kebun dan ternak terbaik yang diberikan.
Sekarang di Kodi ada lapangan pasola yang memakai nama Rara Winyo. Tapi saya jarang ketemu orang Kodi yang memakaikan nama ini kepada putri mereka. Atau bahkan tidak ada. Barangkali khawatir akan mengalami nasib yang sama. Tetapi dalam masyarakat Kodi sendiri, tentang awal-mula ritus Nale ada beberapa versi. Setiap sub-suku atau kampung memiliki cerita sendiri.
Karena pasukan besar sedang berhadapan, dan hawa perang sudah menguar, kedua pangeran sepakat "perang" tetap digelar. Tetapi kali ini hanya "perang-perang"an. Dengan lembing. Yang kita kenal sebagai paholong/pasola hari ini. Dulu, pada zaman Belanda ujung lembing dibuat lancip. Tajam. Sehingga kalau mengena, akan membuat lawan terluka. Kerap jatuh korban jiwa. Tapi sejak 1913, Belanda melarang lembing yang tajam. Sampai sekarang kebijakan itu masih dipakai.