Indonesia adalah negara yang sangat beragam. Memegang semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", maju sebagai kesatuan yang utuh. Mempersatukan Indonesia di saat ini adalah suatu hal yang cukup sulit. Di tengah semua konflik keagamaan, suku, ras dan budaya, makna kata toleransi, serta perannya di negara kita sangat mudah untuk dilupakan.
Pemuda-pemudi yang datang sebelum kita, telah berhasil menjunjung tinggi toleransi dalam titik-titik penting perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sumpah Pemuda pada tahun 1928 mencerminkan hal tersebut, dalam perjuangan untuk mengesampingkan semua perbedaan dan pada akhirnya menjadi bebas dari belenggu penjajah.
Salah satu momen formatif dalam hidup saya datang dalam bentuk kunjungan ke Pondok Pesantren Nur El Falah Serang. Sebagai seorang yang menganut agama Katolik, berdinamika di Pondok Pesantren Nur El Falah merupakan pengalaman yang sangat berharga, dan memberi saya kesempatan untuk belajar tentang gaya hidup dan budaya Islam.
Saya berpikir, setelah diajarkan mengenai toleransi di semua tingkatan sekolah, kemudian dipaparkan melalui media sosial, apakah itu cukup untuk mengerti secara penuh tentang esensi dari toleransi? Toleransi bukan berarti tidak peduli. Toleransi adalah sikap menghargai yang berbeda dari diri kita sendiri. Menurutku, menghargai suatu budaya dimulai dari mengalaminya secara langsung.
Pondok Pesantren adalah tempat yang kaya akan budaya. Bukan berarti semua tempat selain itu tidak, hanya ada banyak sekali perbedaan diantara hidup di Pondok Pesantren dan di perkotaan. Semua murid di perkotaan pasti memiliki ponsel, sangat jarang ada kasus di mana murid SMA tidak memiliki gadget apapun. Orang perkotaan seringkali makan dan minum di restoran, menjalani kehidupan yang mewah di rumah yang besar, dengan garasi yang penuh mobil atau motor.
Dari aspek kehidupan, memang Pondok Pesantren memiliki pendekatan yang lebih unik. Tidak ada mobil atau motor, bahkan penggunaan ponsel dilarang keras. Santriwan/Santriwati berpakaian sebagaimana pantas di budaya Islam, dan melakukan ibadah lima waktu. Mereka makan di waktu yang sudah ditentukan, mengonsumsi makanan-makanan pokok yang sudah jarang ditemukan di perkotaan.
Kehidupan yang kaya tidak selalu berarti memiliki uang atau harta yang banyak. Terkadang hidup dengan kebutuhan sedikit menciptakan senyuman yang paling lebar, dan hati yang paling penuh. Hidup di pesantren mungkin berarti bahwa Santri tidak boleh menggunakan pakaian yang mewah dan menikmati semua kekayaan duniawi. Pondok Pesantren memiliki kekayaannya sendiri, yang datang dalam bentuk karakter dan budaya.
Tidak dapat ditolak bahwa Pesantren adalah tempat pengembangan serta pelestarian budaya Islam di Indonesia. Menjadi bagian dari itu tentu tidaklah mudah dan membutuhkan komitmen. Bangun subuh setiap hari, beribadah, belajar, sebuah hidup yang mungkin terlihat bosan dan sibuk. Akan tetapi, mereka memiliki sesuatu yang jarang dimiliki oleh manusia pada masa kini, kesederhanaan.
Melihat perbedaan budaya seperti itu mungkin membuat orang pada awalnya terheran-heran. Mungkin kondisi hidup di pesantren sulit untuk dipercaya, maka dari itu, sangatlah penting untuk memiliki sikap toleransi dalam menghadapi perbedaan. Toleransi adalah nilai yang krusial dalam kehidupan bermasyarakat, terutama di dunia yang semakin global dan beragam seperti sekarang.
Saya percaya bahwa dengan mengedepankan toleransi, kita bisa menciptakan hubungan yang lebih harmonis antara individu atau kelompok yang memiliki perbedaan. Tanpa toleransi, perbedaan tersebut bisa dengan mudah menjadi sumber konflik, sementara dengan toleransi, kita bisa saling memahami dan menghargai keberagaman.
Toleransi bukan berarti kita harus setuju dengan semua pandangan orang lain, tetapi lebih kepada menerima dan menghormati hak setiap orang untuk memiliki keyakinan atau cara hidup yang berbeda. Toleransi bukan hanya tentang menahan diri, tetapi juga tentang membangun rasa saling pengertian dan rasa aman dalam keberagaman.