Proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang, Kota Batam, merupakan bagian dari strategi pemerintah dalam menarik investasi asing dengan tujuan menjadikan kawasan tersebut pusat industri, perdagangan, dan pariwisata. Namun, proyek ini menuai konflik besar, terutama dengan masyarakat adat yang merasa hak atas tanah ulayat mereka diabaikan. Konflik ini tidak hanya melibatkan masyarakat adat, tetapi juga pemerintah daerah, provinsi, dan pusat, yang memiliki tanggung jawab menyelesaikan masalah ini secara adil dan inklusif.
Dinamika Konflik dan Fakta di Lapangan
Hak Atas Tanah Masyarakat Adat
Pulau Rempang telah dihuni oleh masyarakat adat Melayu selama berabad-abad. Mereka memiliki ikatan historis, budaya, dan spiritual yang kuat terhadap tanah tersebut. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, masyarakat adat memiliki hak ulayat yang harus diakui, selama keberadaannya masih sesuai dengan prinsip kebangsaan dan kepentingan umum.
Hak Masyarakat Adat
Masyarakat adat Rempang, yang telah mendiami wilayah tersebut selama ratusan tahun, berpegang pada hak atas tanah adat yang diakui oleh konstitusi melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), hak ulayat masyarakat hukum adat juga diakui sepanjang keberadaannya masih sesuai dengan perkembangan zaman. Konflik terjadi karena masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan proyek ini dan proses ganti rugi dinilai tidak adil.
Langkah Pemerintah Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat melalui Kementerian Investasi dan BKPM mendukung proyek Rempang Eco City sebagai bagian dari program strategis nasional. Untuk mempercepat implementasi, pemerintah pusat menyediakan ganti rugi lahan bagi masyarakat terdampak. Namun, kebijakan ini menuai kritik karena pendekatan ganti rugi berbasis material dianggap tidak sepadan dengan nilai kultural dan historis lahan bagi masyarakat adat.
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau
Pemerintah Provinsi Kepri telah menggelar dialog dengan masyarakat, namun dialog tersebut dinilai tidak sepenuhnya melibatkan seluruh pemangku kepentingan adat. Pemerintah provinsi juga mendukung program relokasi masyarakat ke wilayah lain di Pulau Rempang, meski implementasinya berjalan lambat.