Lihat ke Halaman Asli

Hati Yang Menepi

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dua hari menjelang lebaran, kampung tampak mulai ramai oleh orang-orang mudik. Ada canda ria, berbagi cerita, maupun tangis rindu menghias ragam rasa tanah berjejak.Kampung pun berdendang melipat sepi, merona lentera rembulan dan bintang-bintang. Hati tertaut bahagia dalam Idul Fitri.

Di sudut kampung, pada sebuah rumah tua berkerut pohon terbaring, menepi sendiri perempuan senja dengan lesu wajah. Rumahnya tak ada mudik. Dan dari dapur mengepul asap ubi rebus dan beras catu. Gerakan tubuhnya lemah, seolah patah tulang putus urat. Ia pun menanti nyanyian burung gagak menancap kuku pada dahan lapuk.

Mendengar suara ramai di luar rumah, menggiringnya untuk mengenang pada masa halaman kampung sunyi. Kampung yang dulu hanya beberapa keluarga menancap patok tanda batas wilayah. Rumah-rumah masih terhitung dengan jemari. Tak ada knalpot menderu, asapnya mengepul menendang-nendang lubang hidung. Kokokan ayam pun masih jarang memecah senyap. Dan, hanya lentera bambu menerangi kegelapan malam.

Dulu, ia memegang peran penting dalam pertumbuhan penduduk di kampung itu, sama rasa orang-orang berpandang pada pengetua adat atau kepala kampung. Apalagi, para istri mengandung akan  merasa resah setengah mati, bila tak ada dukun bayi di kampung. Bila, mendadak melahirkan tak tahu ke mana harus mencari pertolongan. Takutlah mati ibu dan anak dalam rahim.

Banyak juga ucapan terimakasih seperti parcel datang ke rumahnya. Ada masakan rendang lembu, ayam, buah-buahan atau sayur-sayuran. Melimpah. Tak jarang juga berbagi kepada sebelah rumah.

Dukun bayi itu tak pernah gagal membuat istri-istri melahirkan. Pepatah : sepandai-pandainya tupai melompat, sesekali pasti jatuh jua, taklah berlaku padanya. Dengan cekatan, lengan dan jemarinya yang lembut meneriakkan garing tangis bayi untuk pertama sekali merasakan alam dunia. Dan bayi melepas tangis yang meliuk-liuk bertikung dan lurus menelusuri ruang kampung, seolah tangis bahagia dipisahkan dari rahim ibunya. Bayi itu pun tersenyum padanya, mengucapkan terimakasih.

Namun, banyak juga membungkuk dengan seribu kata memohon pada dukun bayi, Bu Sadariah. Ada saja yang tidak mengkehendaki kelahiran bayinya. Tapi, dengan seribu alasan apa pun mencuri iba hati, Bu Sadariah tetap teguh dalam pendirian; berpantang angin mengguncang-guncang dan menelan ludah sendiri. Ia akan berancak-ancak pinggang, merah muka menyuruh pergi orang yang ingin menggugurkan bayinya dalam kandungan.

“Saya bukan pembunuh,” kata Bu Sadariah.

Sejak bidan masuk, dan kepala kampung mendirikan klinik desa, peran Bu Sadariah sebagai dukun bayi perlahan-lahan merosot. Lentera beranda kampung mulai meredup. Orang-orang di kampung itu, satu persatu meninggalkannya, sejalan dengan semakin gencarnya penyuluhan pembangunan desa dari pihak kecamatan. Pemikiran tradisionil masyarakat mulai berkembang ke medis.

Di klinik desa mereka mendapatkan alat kontrasepsi gratis.Baik dalam bentuk kondom maupun pil. Masyarakat Sidodadi pun sudah mengenal keluarga berencana. Mitos, banyak anak banyak rejeki mulai mereka tinggalkan. Orang-orang di kampung itu kini hanya memiliki anak paling banyak lima orang. Tidak lagi seperti dulu, sampai dengan dua belas orang.

Hati berperih luka, kembali datang, sejak suaminya meninggal dua tahu lalu. Ia sangat terpukul. Hidupnya tercengung dalam remang yang menepi. Hati kemarau, sepi. Tak ada nyanyian burung-burung. Bunga-bunga merunduk. Pucuk-pucuk hati melambai merebah, tangan memeluk bumi. Hanya sisa-sisa dalam pundi, menguatkan kakinya melangkah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline