“Albert Cammus”
“Yang mewakili pihak yang tidak senang pada campur tangan, tatapi dalam satu aspek kesedihan, berdiri di tengah – tengah antara dua posisi itu” ~Ivan Karamazov. Kesusastraan dan kehendak untuk berkuasa membawa sebuah pembrontakan para penyair manjadi terlihat rasional dan yang irasional, impian putus asa dan tindakan zalim.
Mebuat pemberontakan penyair terombang ambing pada posisi yang tak semestinya. Penyair yang benar- benar gelisah hingga sibuk menyerang surga, dengan maksud untuk membolak- balikan segala sesuatu dan dengan berbuat begitu mereka memperkokoh kerinduan keputusasaan mereka terhadap keteraturan. Hal ini adalah penyangkalan tertinggi para peyair untuk membuat semacam saripati, nalar dari suatu hal yang tak masuk akal dan membuat sistematisasi irasional.
Romantisisme abad Sembilan belas mewariskan aspek tuntutan untuk membuat puisi- puisi yang patut di teladani dan untuk menemukan aspek- aspek yang mengerikan dari dalam kehidupan manusia terhadap sebuah puisi. Jalan penyair yang mendewakan hujatan saat itu cukup membuat manusia terpengaruhi terhadap sebuah peristiwa- peristiwa, di ikuti bangsa barat yang menerapkan tindakan tersebut demi peraturan- peraturan yang irasional.
Dengan sikalas cahaya yang datang dari kegelapan, Rembaud sang penyair menujukan jalan dimana pemikiran-pemikiran pemberontak itu menemukan cara pemujaan terhadap rangkaian “nalar mutlak” terlepas dari kemajuan yang di capai atau kemunduranya yang dialami. Dengan kata lain Rembaud telah menunjukan pada tingkatan yang mana keinginan irasional itu menerima penampilan yang bisa menuntun para pemberontak mengadopsi jalannya tindakan yang merusak kebebasan secara utuh.
Orang bersukacita di bawah siksaan, dia yang melemparkan kenyataan pada Tuhan dan pada keindahan, dia yang menguatkan dirinya dalam suasana panasnya atmosfer kejahatan, kini hanyan ingin mengawinkan seseorang “dengan sebuah masa depan” kesepian bukanlah suatu metode baru bagi seorang penyair pemberontak. Tertangkap kembali masa remajanya dalam terror dan kengerian yang pedih yang akhirnya juga dialami mereka yang tidak tahu bagaimana mempertahankan kebahagiaan pada titik inilah nafsu manusia benar- benar bergelora dan bersamaan itu pula kebenaran bermula.
Namun kepandaian yang luar bisa bisa tiba- tiba tunduk terhadap uang. Itu karena teriakan pikiran yang pandai yang lelah karena pemberontakannya sendiri. Harapan pada pemberontakannya sudah sirna dalam ujung kematian yang sepi, sekilas cahaya yang menyala dalam kegelapan meredup dan telah disimpulkan oleh Breton “haruskah kita membebaskan semua harapan pada titik tertentu?” ini adalah imbauan penting dalam sebuah pemberontakan yang harusnya berjalan sesuai dinamika dunia, bukan dunia yang berlandaskan uang sehingga mutlak akan dunia kesusastraan yang agung.
Pernyataan arogan Breton “ketidak mampuan menerima nasib yang diberikan padaku, persepsi-persepsiku yang ditolak keadilan, aku menahan diri supaya keberadaanku beradaptasi dengan kondisi- kondisi konyol dari keberadaan, yang jauh di bawah."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H