Lihat ke Halaman Asli

Kejujuran: Mata Uang yang Tidak Lagi Laku di Dunia Akademis Indonesia

Diperbarui: 17 Agustus 2024   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kejujuran, suatu hal yang mudah dipahami secara konsep. 

Kejujuran, nilai yang ditanam dari masa kecil. 

Kejujuran, nilai yang jarang terealisasi dalam dunia nyata.

Peringkat atau prestise suatu universitas terpengaruhi oleh jumlah guru besar yang dimilikinya. Hal ini berarti bahwa prestise suatu universitas sebanding dengan jumlah guru besar yang dimilikinya. Selebihnya, penerima gelar guru besar akan mendapatkan berbagai tunjangan. Melansir dari Tempo.co, tunjangan-tunjangan tersebut dapat berupa tunjangan secara fungsional, profesi, dan kehormatan. Oleh karena itu, tidak heran bahwa gelar tersebut sangat diminati dalam kalangan akademisi. Namun, tidak semua orang mencoba meraih gelar tersebut dengan penuh kejujuran. (1)

Benih-benih sikap melawan kecurangan akademis sudah tertanam dari tingkat dasar pendidikan, SD. Naik tingkat pendidikan, konsekuensi untuk kecurangan akademis turut naik tingkat. SMA Kolese Kanisius memiliki kebijakan zero-tolerance terhadap kasus mencontek yang terbukti dengan konsekuensi dropout. Kebijakan-kebijakan seperti yang dimiliki SMA Kolese Kanisius merupakan bukti nyata bahwa kejujuran akademis dijunjung tinggi dalam iklim pendidikan. Namun, kasus-kasus guru besar menunjukan bahwa kejujuran akademis tidak lagi laku di tingkat tertinggi dunia akademis.

Salah satu syarat untuk menjadi guru besar adalah memiliki publikasi sebagai penulis utama dalam jurnal international. Pada umumnya, memiliki publikasi dalam jurnal international sebagai penulis utama merupakan hal sangat hebat yang tentu memerlukan banyak perjuangan dan pengorbanan. Namun, jalan pintas akan selalu tersedia. Mempublikasi artikel dalam jurnal predator, jurnal-jurnal yang kualitasnya diragukan dan kontennya tidak dapat dipertanggungjawabkan, merupakan jalan pintas favorit bagi para calon "guru" besar. Hal tersebut terbukti dari Indonesia menyumbang 16,73% artikel yang masuk ke dalam jurnal predator dari tahun 2015--2017. Popularitas jurnal predator merupakan refleksi dari kultur akademis Indonesia yang lebih mementingkan kuantitas dibanding kualitas dan penuh kejujuran cacat. (2) (3)

Sebenarnya, kualitas apa saja yang perlu dimiliki oleh seorang guru? Bukankah pengunaan jurnal predator tidak relevan dengan kemampuan seseorang untuk mengajar? Tiada manusia sempurna dan semua manusia memerlukan kritikan untuk menjadi lebih baik. Oleh karena itu, Seorang guru seharusnya kritis dan terbuka terhadap kritikan. Melalui terbuka dengan kritikan, seseorang dapat merefleksikan kekurangannya dan membuat langkah untuk memperbaikinya. Seseorang guru yang terbuka terhadap kritikan tentu juga akan terbuka terhadap diskusi yang dapat mendorong perkembangan murid didikannya. Namun, seseorang yang tidak berani mempublikasi artikel dalam jurnal yang bebas dikritik oleh koleganya tidak dapat dipercaya untuk bisa terbuka terhadap kritikan sehingga tidak cocok untuk menjadi guru. Tentu tidak semua orang setuju dengan opini saya, tetapi saya yakin bahwa semua orang setuju bahwa seorang guru setidaknya hadir untuk mengajar. Namun, terkadang itu pun tidak terpenuhi.

Ari Purbayanto, ketua Asosiasi Profesor Indonesia (API), mengatakan bahwa gelar guru besar hanya untuk dosen yang aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi. Dosen tersebut harus melaksanakan fungsi pengajaran sesuai dengan Pasal 1 Ayat 3 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Namun, menurut API, perguruan tinggi selama ini justru memberikan jabatan profesor kepada orang yang tidak aktif sebagai pendidik di perguruan tinggi. Selebihnya, Ari Purbayanto juga mengatakan bahwa profesor menerima gaji tetap sebagai dosen PNS/ASN. Oleh karena itu, para "profesor" tak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga berpotensi menjadi faktor penghambat Indonesia Emas 2045. (4) (5)

Bagai infestasi kecoak, ketidakjujuran akademis tumbuh sampai tidak bisa diabaikan lagi. Dengan diam-diam mengambil apa yang bukan miliknya dan meninggalkan bau tak sedap di lokasi terakhirnya. Tidak mungkin usai tanpa pembersihan intensif dan akan terus berkembang biak apabila tidak diawasi. Para "guru" yang merusak reputasi pendidikan tinggi Indonesia hanya demi keuntungan pribadi. Deretan orang-orang yang berpotensi menjadi penyebab kemunduran Indonesia di masa yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline