Lihat ke Halaman Asli

Simalakama Keterbukaan Media Online

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Jagad hiburan Indonesia sedang heboh. Foto-foto pribadi milik seorang selebritas muda tiba-tiba berseliweran di situs-situs infotainmenet online. Rupanya para awak media ini mengetahui foto-foto tersebut dari sebuah akun Twitter yang tidak dikenal. Foto-foto yang sebenarnya bukan untuk konsumsi publik pertama kali tersebar di media sosial populer tersebut. Bagai roket, isu pun dengan cepat menyebar dan semakin panas. Sang artis pun akhirnya membuat pengakuan bahwa orang di foto tersebut adalah dirinya, berasal dari ponsel miliknya yang baru-baru ini hilang.

Peristiwa di atas menunjukkan betapa mudahnya saat ini orang awam menjadi informan dadakan untuk publik. Secara konvensional, informasi kita peroleh dari media-media massa, dan itu ditemukan oleh para jurnalis. Seiring berkembangnya teknologi komunikasi, terutama internet, publik pun juga bisa berperan sebagai wartawan. Bahkan bisa dikatakan saat ini posisinya nyaris terbalik; justru publik yang menjadi penyebar informasi pertama, barulah kemudian jurnalis meng-cover informasi tersebut dengan lebih lengkap.

Perubahan seperti ini bukan berarti tanpa kekurangan. Akibat begitu terbukanya akses di dunia maya, maka publik pun juga begitu bebasnya berbagi informasi, bahkan hingga ke info yang paling pribadi sekaligus. Ini tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah keterbukaan informasi dapat menjamin privasi seseorang, walaupun dia bukan seorang figur publik?

Setiap kali penulis mendiskusikan hal ini dengan sesama mahasiswa, maka kesimpulan yang muncul pasti selalu sama. Publik melakukan hal tersebut demi eksistensi diri. Menarik-nya, situs-situs sosial populer ternyata mendukung proses eksistensi tersebut. Contohnya saja, Foursquare dapat menyebarkan informasi mengenai keberadaan seseorang. Entah bagaimana caranya, suatu tempat bisa menunjukkan kelas sosial seseorang. Unik sekali!

Kembali mengenai keterbukaan informasi, Indonesia belum lama ini mengeluarkan aturan yang disebut sebagai Pedoman Media Siber. Aturan tersebut terdiri atas sembilan poin utama yang terbagi lagi atas beberapa butir. Salah satu poinnya yaitu:

·Tidak memuat isi bohong, fitnah, sadis dan cabul;

·Tidak memuat isi yang mengandung prasangka dan kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta menganjurkan tindakan kekerasan;

·Tidak memuat isi diskriminatif atas dasar perbedaan jenis kelamin dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani.

Jika melihat kasus yang penulis paparkan sebelumnya, jelas apa yang dilakukan oleh informan merupakan pelanggaran dari poin-poin di atas. Namun itu baru satu kasus, masih banyak kasus serupa yang bahkan melibatkan nama-nama besar individu atau kelompok.

Kebebasan dan keterbukaan berekspresi, berpendapat, dan menyebarkan informasi memang menjadi dasar utama dari pedoman tersebut. Ini sesuai dengan hak-hak individu yang ada di dalam UUD 1945 serta Deklarasi HAM Internasional. Meskipun demikian, kebebasan ini seakan menjadi bumerang bagi publik. Saking terbukanya informasi, publik melupakan nilai dan kualitas dari suatu informasi.

Mindy McAdams menyatakan jika saat ini media sosial membuat kekuatan penyebaran informasi menjadi berada di tangan individu. Ini juga karena media sosial menyediakan fasilitas sharing yang bisa dilakukan hanya dengan satu klik. Bayangkan, hanya karena satu klik, satu informasi yang diterima individu bisa dengan cepat diterima secara publik dalam hitungan jam, bahkan menit. Ini bisa menguntungkan sekaligus merugikan baik bagi individu dan media sosial. Bagaimana jika informasi yang dibagikan secara luas tersebut belum memiliki kebenaran yang valid?

Pedoman media siber menyebutkan hal ini pada poin kedua di mana verifikasi informasi wajib dilakukan sebelum informasi tersebut dipublikasikan. Ini adalah hal yang bisa jadi jarang dilakukan oleh para jurnalis media online. Selain tidak melakukan verifikasi, jurnalis online umumnya hanya melakukan proses copy-paste terhadap suatu informasi terbaru. Penyebabnya tak lain dan tak bukan karena informasi di media online bersifat real-time, artinya ketika peristiwa tersebut baru terjadi maka sebisa mungkin informasinya sudah muncul dan dipublikasikan. Penulis cukup sering menemukan hal seperti ini; terdapat dua hingga tiga media online yang menyebarkan informasi dengan judul berita dan isi yang nyaris sama persis. Hak cipta karya seseorang harusnya dipertanyakan di sini. Aksi plagiarisme di media online apalagi sosial seakan menjadi hal yang legal dan lumrah. Tentunya ini mengkhawatirkan.

Meskipun memiliki begitu banyak kelemahan yang tak tampak, media online memiliki kelebihan dibanding media konvensional. Ketika audiens media elektronik dan cetak tidak dapat melakukan respon secara langsung terhadap media, audiens dari media online bisa melakukan hal ini. Memang, ini menjadi syarat dari sebuah media online, yaitu adanya keterbukaan terhadap interaktivitas. Audiens bisa langsung memberikan respon balik terhadap informasi yang dibagikan, bahkan bisa saling berdiskusi dan direspon lagi oleh sang pembagi informasi. Informasi yang keliru pun bisa diperbaiki segera setelah mendapat respon dari audiens.

Pada bagian bawah dari sebuah informasi di media online, biasanya disediakan kolom komentar untuk pembacanya. Audiens pun bebas sebebas-bebasnya memberikan komentar terhadap informasi tersebut. Sayangnya, kebebasan adalah hal yang paradoks; hal yang baik sekaligus bisa menjadi berbahaya. Tak urung, sering terjadi perdebatan yang alot antar pembaca mengenai sebuah informasi. Pemberi komentar bahkan tak segan untuk menggunakan kata-kata yang secara umum kasar dan tidak pantas untuk dipublikasikan.

Menarik untuk dilihat bahwa selama penulis mengamati media online, komentar yang sifatnya kasar lebih mendominasi ketimbang yang biasa-biasa saja. Apakah ini menjadi nilai jual bagi medianya? Entahlah. Sebagian dari situs berita online telah menerapkan sistem filter di mana komentar yang masuk akan diseleksi. Namun tetap saja ada media online yang membiarkan komentar-komentar kasar tersebut tetap masuk dan dipublikasikan.

Hal yang sama juga terjadi pada media sosial populer. Namun permasalahannya lebih pelik ketimbang media online lainnya. Banyak pengguna media sosial memiliki prinsip, “karena ini akun milik saya, maka kata-kata yang keluar juga terserah saya juga”. Maka pengguna pun tak segan untuk berbagi hal yang paling pribadi sekalipun. Ini adalah persoalan etika. Ya, bukan hanya kehidupan sosial sehari-hari yang perlu etika, tetapi juga kehidupan sosial di media online. Namun kemudian, etika menjadi hal yang ambigu ketika berbicara mengenai kebebasan. Maka kita sendiri harusnya bisa memahami terlebih dahulu apa itu kebebasan dan bagaimana penerapannya dalam kegiatan sehari-hari, termasuk aktivitas kita di media online.

Dunia media online tidak pernah berhenti berkembang, selalu saja ada inovasi terbaru yang dapat memanjakan penggunanya. Bukan tak mungkin jika manusia pada nantinya akan menggantungkan hidup pada media dunia semu ini. Namun dalam hal etika penggunaan, tentu saja kita tidak bisa hanya bergantung pada aturan tertulis yang ada. Semua, tentunya, kembali pada diri kita sendiri, yang lebih paham bagaimana sebaiknya menggunakan media online tanpa merugikan diri dan orang lain.



Referensi:

Pedoman Media Siber

Mindy McAdams, Online Ethics Social Media (PDF)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline