Lihat ke Halaman Asli

Alexa Chan

Designer, Konsultan Pajak/Keuangan

Melawan Ahok Sang “Mulut Comberan”

Diperbarui: 4 Juni 2016   14:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Basuki Tjahaja Purnama (Liputan6 TV)

Kaga usah bela-belain Ahok terus ah! Emang doi mulutnya kayak comberan kan?  Ayo ngaku aja, beneran nggak mulut si gubernur satu ini begitu?  Nggak akur, terserah ente. Tapi buktinya banyak yang ngatain doi begitu. Kalau saya? Ah biasa-biasa aja. Namun karna mulut comberan inilah, dijadiin  alesan untuk  segera memakzulkan doi, paling Nggak   itu kata Rizieq.  Lalu lawan-lawannya yang laen nggak ada yang bermulut comberan juga? Ah Kalo diterusin panjang ntar c’ritanya, sebenarnya bukan saja soal mulut comberannya, masih banyak alasan lain dibalik itu...

Tapi.. kok masih ada aja rakyat jakarta yang menyukainya? S’perti  kata Akom (Ade Komarudin), ketua DPR itu, lantaran kepengen memperjuangkan pembangunan perpustakaan parlemen,  yang mulia satu ini sempat omong kalo  Ahok saja yang mulutnya comberan begitu masih disukai rakyat. Demi kebaikan Akom siap mendapat bully.  Disamping memberi peneliaian buat si mulut comberan, evidently doi menginspirasi  Akom bersikap siap untuk dibully siapapun.

Satu package dengan mulut comberan ama karakter kepemimpinan  Ahok lainnya, Mr. JK, entah samar-samar juga, sempat berkata “Ya kalau tidak begitu, bukan Ahok namanya”. Ntah lah, maksudnya bisa menerima semua kelakuan si Ahok ini atau sekedar basa-basi, tapi karna kedudukanya, pasti serius lah.

Jangan-jangan kelakuan si “mulut comberan” udah nularin ke mana-mana, sampai-sampai para tokoh udah nggak tau How to learn to reply to insults sarcastically, jadi jalan cepat bagi lawan-lawan politiknya, perang mulut kotor dibalas juga dengan hal yang sama. Ternyata emang kasus bully sebenarnya udah menjadi tontonan sehari-hari melalui media daring atau medsos.  Kacau dong nih..peyakit menular baru di kalangan pemimpin bahkan bakal dan malah udah ditiru para remaja.

k’liatanya  sifat mulut comberan ini memang masih ditolerir sebagian orang karna kebanyakan melihat pada substansi dari kemajuan pembangunan Jakarta di segala bidang yang dapat terlihat dan terukur di bawah kepemimpinan ahok selepas Jokowi menuju Istana. Jadi apa yang dikemukakan Akom bisa jadi benar, walau bermulut comberan ternyata masih disukai kebanyakan Penduduk Jakarta, entah seberapa banyak. Lexa Nggak ngadain survey, tapi paling Nggak, per hari ini menurut temen-temenya Ahok udah 928.800 KTP yang ngedukung Ahok-Heru. B’rarti mulut comberannya emang nggak ngurangin  tingkat kepuasan, elektabilitas bahkan popularitas.

Malas juga ngabahas angka sebenarnya, tapi ngikut saja lah apa kata lembaga survey, percaya aja kalo bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah (walau entah nanti dicicil bayaranya  kalo jagoanya menang hehe). Menurut lembaga Populi Center yang merilis hasil survei mereka diakhir April yang lalu, menyatakan bahwa tingkat kepuasan dari warga DKI terhadap kepemimpinan si mulut comberan mencapai 81,5 persen di bulan April 2016, Elektabilitas 50,8 persen menduduki tempat teratas pada bulan yang sama. Sedangkan popularitas tentu tertinggi, masih di atas 98 persen. Nah.  Konon katanya, kalo petahana ato incumbent memiliki  tingkat kepuasan kisaran 75% ke atas, dipastikan bisa memenangkan pilkada DKI, tapi.. jika diadakan pada bulan survey diadakan tentunya. Entah sekarang dan dikemudian hari nanti di saat jelang pilkada DKI 2017.

Lalu gimana para lawan politik ngelawan ahok yang bermulut comberan itu ya seharusnya elegan, mungkin seperti Hillary Beat Trump? Boleh aja lagi, selain melawan dengan menyoroti substansi masalah yang terlihat dan terukur oleh publik, boleh juga menggunakan apa yang disebut “high-class mockery and disdain” atau terjemahan bebasnya “ejekan dan penghinaan Kelas tinggi (berkelas)”.  Karna melawan ahok harus pada substansi masalah terkait kemajuan DKI ke depan yang dapat diukur berdasarkan pencampaian jakarta saat ini di bawah kepemimpinannya. Asal jangan fitnah dan berbau SARA saja, walau memang sangat ampuh buat sebagian kalangan yang memang militan dan garis keras, tapi sejauh penilaian Lexa nggak bakal ampuh bagi sebagian besar pemilih Jakarta yang cukup cerdas dan anti pertentangan SARA dan Diskriminasi.  

Namun karna belon ada calon penantang yang sudah mendeklarasikan diri secara sah dengan dukungan parpol, boleh-boleh saja, kelompok pembeci ahok mengiring opini publik pada substansi masalah dan kayaknya nggak harus ngotot bermain dengan cara-cara yang kurang elegan dimata penduduk jakarta yang memiliki hak pilih.

So the conclusion is that the hardest thing about any political campaign is how to win without proving that you are unworthy of winning,  Kata Adlai E. Stevenson II, politikus dan diplomat Amerika. Hal yang paling sulit tentang kampanye politik adalah bagaimana caranya untuk menang tanpa membuktikan bahwa anda layak untuk menang, atau membuktikan musuh anda tak layak untuk menang.

Sehingga gunain tronton untuk mengganggu kepentingan umum, nyebar fitnah tanpa fakta, caci maki, emosi jiwa bagaikan loser apalagi mengusung isu SARA dan diskriminasi mungkin bukanlah cara tepat untuk menang, karna untuk membuktikan bahwa anda dan kelompok anda layak untuk menang hanya ada ditangan rakyat yang akan memilih mereka nantinya, sekalipun anda berhak mengemukakan pendapat sebagai warga negara yang dijamin oleh undang-undang kapan saja sejauh nggak melanggar hak yang sama yang dimiliki orang lain.

To be a good loser is to learn how to win- Carl Sandburg.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline