Lihat ke Halaman Asli

Alex Lucas

Siswa Kanisius

Lukisan sebagai Jendela Jati Diri dan Sarana Ekspresi Massa

Diperbarui: 8 November 2024   21:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Melukis telah menjadi budaya dan kebiasaan manusia sejak zaman-zaman yang telah berlalu. Baik sebagai metode komunikasi antara manusia dengan manusia lainnya, sarana mengekspresikan diri atau sesuatu/ seseorang, hingga untuk mengingat sebuah peristiwa atau pengalaman yang terjadi di masa lampau. Bahkan, melukis sudah ada sejak zaman manusia masih belum mengenal cara untuk menulis dan berbicara sebagai sarana komunikasinya. Penelitian ilmiah dan eksplorasi dari arkeolog dan sejarawan menyatakan bahwa lukisan manusia sudah ada sejak kira-kira 64 ribu tahun yang lalu, menunjukkan bahwa lukisan menjadi bagian penting bagi kehidupan manusia.

Perkembangan kebiasaan melukis pun terlihat seiring berkembangnya peradaban manusia. Dari lukisan yang awalnya dilakukan di dalam dinding goa dan tembok yang kasar dan tidak terbentuk hingga lukisan yang dilakukan pada bidang-bidang kreatif, bukan sekedar bidang konvensional, untuk mengekspresikan emosi yang mendalam dari pelukisnya. Dari yang awalnya hanya sekedar untuk mengingat sebuah memori, menggambarkan situasi, hingga sarana komunikasi langsung, menjadi bentuk yang menyuarakan kreativitas, imajinasi, inovasi, hingga ekspresi perasaan yang kontras dengan sekitar.

Sebagai orang awam yang tidak mengetahui banyak mengenai seni, sebuah pertanyaan muncul. Bagaimana para pelukis mendapatkan ide untuk seni yang dibuatnya dalam kanvas kreativitasnya? Asal ide atau inspirasi dari lukisan-lukisan yang dibuat dapat ditentukan dari beberapa hal: pengalaman, imajinasi, emosi, hingga kepada hal-hal yang menarik yang dilihat dari seniman tersebut. Tetapi semuanya kembali dari hati dan pikiran masing-masing seniman. Seorang seniman membutuhkan semua pikirannya dan semua hatinya untuk membuat lukisan. Tidak bisa setengah-setengah.

Semua garis yang dibentuk dalam sebuah lukisan, semua titik, semua cat yang telah tertumpahkan di dalam kanvas sesuai dengan kondisi hati dan pikiran pelukis. Dengan begitu menjadi jendela jati diri dan media ekspresi massa.

Lukisan sebagai jendela jati diri


Setiap seniman memiliki gaya lukis yang unik, beberapa mungkin dapat disebut sebagai aneh atau tidak biasa. Tidak jauh berbeda dengan cara pandang mereka terhadap semua hal yang ada di dunia ini. Perbedaan-perbedaan itu mereka tunjukkan melalui lukisan-lukisan mereka, mengekspresikan opini, perasaan, dan pengalaman yang begitu pekat. Ambil contoh seorang pelukis, Van Gogh, yang menggunakan seni lukis sebagai medianya untuk mengutarakan jiwanya yang terganggu dan kesepian. Warna yang mencolok dan goresan kuas yang sangat menarik perhatian, membuatnya salah satu pelukis paling tenar di dunia. Selain itu, ada juga Jackson Pollock yang memilih untuk menggunakan pola warna dan goresan yang abstrak. Membingungkan, tetapi juga memberikan kesan emosi yang sangat melekat bagi para penikmatnya. Membuka jendela bagi para penikmat dan pengamat lukisan untuk mengintip lebih ke dalam jiwa pelukis tersebut. Apa yang ada di dalam hati dan pikirannya? Membuat kita tergerak secara emosional sebagai manusia sejati.

Terkadang kata-kata tidak dapat menyampaikan apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, dan apa yang harus kita lewati: kesulitan-kesulitan di masa kini yang menyebabkan perasaan tidak mengenakan mengenai masa depan. Sejarah kelam yang kian tertutup lamanya bagai buku terkutuk, membawa hawa dan emosi negatif bagi seseorang. Melukis bisa menjadi sarana penyuaraan hal-hal itu. Menjelajahi aspek-aspek dari diri manusia yang seringkali tidak terlihat dengan mata. Berbahasa dengan cara mereka sendiri, menyampaikan informasi yang terlihat sepele, namun sangat bermakna. Sungguh menjadi misteri kerja dari seorang pelukis.

Lukisan sebagai sarana ekspresi massa

Selain sebagai jendela jati diri, lukisan juga secara tidak langsung berfungsi sebagai media untuk mengekspresikan dan menyuarakan pesan-pesan yang penting bagi orang lain. Kritik sosial dan politik menjadi tema utamanya. Layaknya Guernica karya Pablo Picasso yang menggambarkan kekerasan dan penderitaan yang disebabkan oleh perang. Ia mengkritik kebrutalan perang, menggarisbawahi manusia sebagai penyebab dan efeknya sendiri. Menjadikan lukisan sebagai simbol melawan kekejian dan penindasan atas kehidupan manusia.

Sama halnya juga dapat ditemukan di Indonesia. Di tengah masa reformasi pada tahun 1997 - 1998, banyak lukisan yang dibuat oleh pelukis asal Indonesia untuk menyuarakan protes dan kritik sosial terhadap pemerintahan yang ada pada waktu itu. Menggambarkan penderitaan rakyat, kerusuhan dan konflik kepentingan, ketidakadilan politik, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Lukisan-lukisan ini digores dalam sejarah melalui media-media yang tidak biasa: tembok bangunan, jalanan, dan mural-mural di bawah jembatan. Banyak dari itu yang mengandung kritik dan ketidakpuasan masyarakat yang kuat selama masa pemerintahan Orde Baru. Menjadikan lukisan sebagai teropong, melihat lebih dekat situasi yang ada, sarana protes dan kritik, yang mudah untuk dipahami oleh kalangan luas.

Masa depan seni lukis dengan budaya Indonesia

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline