Lihat ke Halaman Asli

Alex AliAtmadikara

Riang dan Gembira, suci dalam pikir, perkataan dan perbuatan

Guru sebagai Duta Kesadaran akan Keselamatan

Diperbarui: 29 Februari 2020   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Menyimak kasus susur sungai di Sleman yang memakan korban sepuluh siswa SMP 1 Turi, reaksi saya yang pertama adalah marah, mengigil, lemas, dan kesedihan yang sangat. Karena kehilangan jiwa, sepuluh jiwa bukan cuma persoalan statistik, satu saja sudah terlalu berlebihan. Ini mengingatkan saya pada kejadian 2013 lalu di Yogya juga hanya aktivitasnya saja yang berbeda, kegiatan yang dilakukan saat itu adalah penelusuran gua. 

Kegiatan yang risikonya boleh dibilang tinggi. Kasus gua Serpeng yang memakan 3 korban jiwa, yang sampai kini saya yakin masih berbekas cukup dalam menyimpan trauma dalam diri beberapa teman2 saya. 

Sampai saat ini setiap mendengar berita kecelakaan pada kegiatan alam terbuka, perasaan selalu menjadi emosional, teringat dan membayangkan wajah2 terakhir mereka para korban yang penuh ketakutan, pasrah, tak berdaya menghadapi kematian yang seharusnya mungkin belum waktunya.

Saya tak ingin menyalahkan takdir. Karena pada kasus2 itu seharusnya takdir bisa dipilih. Seharusnya mereka masih bisa pulang dengan bahagia, dengan pengalaman yang mereka peroleh dari kegiatan tersebut, berceloteh pada orangtua mereka masing2 ttg pengalaman mereka. 

Seharusnya orang tua mereka tidak sampai bersedih seperti sekarang, seharusnya mereka bahagia karena melihat anak2 mereka berubah lebih baik setelah pelatihan2 itu, setelah petualangan mereka belajar tentang menemukan beberapa cuil pengalaman dan keterampilan hidup.

Peran guru, pembina, instruktur, pelatih, sebagai orang dewasa, representasi orangtua, representasi individu yang lebih berpengalaman, dalam semua kegiatan pendidikan di sekolah sudah seharusnya menjadi kontrol dan penentu hasil dari tujuan pendidikan. 

Termasuk salah satunya mengenai kesadaran akan keselamatan (safety awareness) dan berkewajiban membuat prosedur atau sistim pengelolaan risiko (risk management) dalam semua aktivitas, terutama lebih2 pada kegiatan yang memiliki risiko tinggi.

Pemilihan aktivitas, waktu kegiatan, lokasi kegiatan, durasi kegiatan, jumlah peserta, perbandingan rasio peserta dengan pembina atau instruktur sudahkah seimbang? Perencanaan kontijensi, rencana respon dalam kondisi darurat, rencana evakuasi jika kondisi darurat, nomor kontak untuk kondisi darurat yang harus dihubungi, kesiapan paramedis atau pertolongan pertama pada kecelakaan, keterampilan teknis pembina, instruktur atau pelatih apakah memadai? 

Rekam medis laporan kesehatan peserta, format laporan kecelakaan (accident report) dan surat ijin mengikuti kegiatan dari orangtua, surat ijin kegiatan dari kepolisian, dan lain sebagainya sudahkah menjadi prioritas pemenuhan dokumentasi berkegiatan oleh para guru, pembina, instruktur atau pelatih saat itu?

Karena kelalaian kecil dalam aktivitas berisiko seperti kegiatan di alam terbuka seperti membiarkan gumpalan salju kecil menggelinding ke bawah bukit semakin dibiarkan semakin menjadi bola salju besar yang mampu melumat semuanya. Dan kasus seperti kasus di atas selalu diawali dengan kelalaian serupa, abai pada pertanda alam. 

Padahal sumber bahaya terbesar yang harus dihindari karena tidak bisa diprediksi adalah alam sebagai bahaya objektif. Ditambah dengan kurangnya keterampilan manusianya dan persiapan dalam kegiatan yang menjadi bahaya subjektif, maka lengkaplah sudah menjadi kolaborasi prima menuju predikay katastropik atau bencana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline