Oleh Abdullah Sammy*
Inflasi arus informasi di era media sosial meninggalkan residu berupa disinformasi. Lewat disinformasi alias hoaks, sentimen tertentu mudah sekali diciptakan lewat narasi di media sosial. Emosi individu untuk membenci atau suka terhadap sesuatu sangat mudah diproduksi.
Ya, kita memang menghadapi kenyataan era post truth. Era post truth membuat sentimen dan emosi individu selalu berada di depan kebenaran objektif. Sehingga saat mendapati informasi, seseorang lebih cenderung mencernanya dengan emosi bukan logika.
Kenyataan era post truth terpampang jelas di sektor politik. Karena mau menjatuhkan atau merebut kekuasaan, semua cara dibenarkan. Termasuk dengan memproduksi informasi provokatif dengan data yang dipotong-potong. Sebagian data dikutip, tapi sebagian yang lain ditutupi. Bukan demi fakta kebenaran, tapi provokasi untuk jatuhkan lawan.
Situasi ini tergambar dengan nyaris sempurna dalam isu seputar bisnis PCR. Data dirangkai lewat ilmu cocokologi. Ini seperti isu yang menyerang Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Tak cukup Luhut, sosok Erick Thohir pun ikut dibidik. Semua dikaitkan dengan narasi provokatif bahwa mereka 'bermain' dalam bisnis PCR.
Adalah PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang dikaitkan dengan para menteri andalan Jokowi itu. Ada data yang sengaja dibuka dan ditutupi oleh oknum-oknum yang bermain di balik isu ini.
Data yang dibuka soal kepemilikan saham PT Toba Sejahtera dan Yayasan Adaro. Namun ada data penting yang ditutupi yakni Luhut dan Erick sudah lama tak terkait kedua perusahaan itu.
Namun data seputar kepemilikan sejatinya tidak terlalu krusial untuk mengungkap apa sebenarnya di balik isu PT GSI ini. Yang lebih penting adalah motif dari perusahaan ini berdiri. Apakah memang untuk berburu rente di balik bisnis PCR?
Inilah pertanyaan yang paling krusial. Pertanyaan yang jawabannya sengaja dikaburkan oleh oknum yang memainkan isu. Data digital masih terekam jelas dan mudah didapati. Semua bermula dari ledakan kasus Covid-19 di Indonesia yang berawal dari Maret dan April 2020.
Saat itu, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo melapor kepada Presiden Jokowi bahwa pihaknya kesulitan untuk mendapatkan alat tes untuk mendeteksi Covid. Padahal Indonesia berpacu dengan waktu. Semakin sulit mendapatkan alat tes, maka risiko Covid-19 di Indonesia semakin tinggi. "Kita sadari tidak mudah ternyata untuk mendapatkan alat peralatan yang berhubungan dengan rapid test," kata Doni seperti dikutip Kompas.com 6 April 2020.
Pemberitaan yang sama dimuat Tempo pada hari yang sama dengan judul artikel, 'Pemerintah Sebut Kesulitan Mendapatkan Alat Rapid Test dan APD'. Di tengah situasi serba krisis, para pengusaha secara sukarela membantu.