Kata budaya menunjukkan suatu kebiasaan yang telah berjalan di masyarakat. Kemudian yang dimaksud dengan budaya "Malem Dhepa" merupakan akronim dari kebiasaan "matur nuwun, dalem, dherek langkung dan nyuwun pangapunten". Ada sebuah lagu yang memuat isi dan makna yang sangat mendalam. Liriknya seperti ini:
"Diparingi matur nuwun, ditimbali matur dalem
Yen lewat dherek langkung, yen lepat nyuwun pangapunten"
Meskipun hanya sederhana terdiri atas dua baris, namun ternyata memuat nasehat yang begitu bagus untuk diteladani. "Diparingi matur nuwun", menunjukkan bahwa setiap kali kita diberi apapun dan oleh siapapun, sudah sepantasnya mengucapkan "matur nuwun" atau terima kasih. Meskipun hanya sesepele diberi permen oleh teman, dengan kita mengucapkan terima kasih tentu menjadikan lega si pemberi, serta ia merasa dihargai. Namun di jaman sekarang, seringkali kita lupa. Hingga terkadang si pemberi memberikan sindiran mendahului mengucap terima kasih "matur nuwun ya", barulah si penerima sadar bahwa ia belum mengucapkan terima kasih.
"Ditimbali matur dalem", sejak dahulu memang sudah terbiasa budaya baik orang-orang Jawa, apabila dipanggil maka akan memberikan jawaban "dalem". Contohnya "Ndhuk Sariii ...", kemudian menjawab "dalem bu". Namun sekarang terasa sudah jarang terdengar. Ketika dipanggil, spontan menjawab dengan "yooo sik", "apa?", "piye?", "heh?" Hal tersebut menunjukkan perilaku yang tidak pas dan tidak sopan.
Kemudian lagi perihal "yen lewat dherek langkung" atau permisi. Memang benar, para pemuda jaman dahulu kalau lewat di depan orang yang lebih tua pasti mengucapkan "dherek langkung" dengan disertai membungkukkan badan sebagai wujud menyapa dan permisi serta wujud menghormati. Kalau sekarang? Ketika sama-sama mengendarai sepeda motor, mendahului yang lebih tua saja terkadang malah nggleyer, bablas tanpa menyapa sama sekali. Padahal ketika berkendara, mendahului dengan membunyikan klakson saja sudah cukup menunjukkan perilaku sopan. Lagi apabila sama-sama berjalan, bertemu dengan orang yang lebih tua, baik itu tetangga, saudara, guru atau yang lainnya, sudah jarang sekali budaya dherek langkung dilakukan. Paling tidak dengan mengucap "mangga" atau 'nuwun sewu" sebenarnya juga sudah cukup. Akan tetapi mungkin karena kurangnya pengetahuan dan tidak dibiasakan sejak dini. Terlebih lagi para pemuda terkait hal unggah-ungguh tata krama seakan sudah berkurang dalam memahami, apalagi menjaga dan melakukannya.
Satu lagi tentang budaya minta maaf "yen lepat nyuwun pangapunten". Ketika melakukan kesalahan, seharusnya segera minta maaf, jangan sampai menyakiti hati orang lain. Meskipun hanya bercanda yang bersifat sepele, tetapi kita tidak tahu bagaimana tanggapan orang lain, karena setiap orang pasti memiliki tingkat sensitifitas yang berbeda. Di jaman sekarang, umumnya banyak yang merasa gengsi apabila mendahului meminta maaf. Terkadang ketika membuat kesalahan malah mengucapkan "halah, ngono wae baper", (red: halah seperti itu saja baper). Hal yang menganggap mudah dan ringan perbuatan salah bukanlah perilaku yang baik.
Matur nuwun, dalem, dherek langkung, lan nyuwun pangapunten bukanlah perbuatan yang susah, gratis tidak perlu bayar. Maka dari itu dan alangkah baiknya selalu kita lakukan dan kita tularkan kepada anak cucu generasi berikutnya. Agar budaya "malem dhepa" tetap terjaga, para pemuda juga selalu mengerti bisa menghormati, serta memiliki sikap atau tata krama yang njawani. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H