Sangkamu, kita paham kitab suci
dan kita mampu nyatakan kebenaran dari dalamnya?
Lihatlah, Sang Firman sendiri membungkuk
dan menulis di tanah.
Dia menulis kebenaran di tanah bumi,
bukan di lembar kitab suci.
Tetapi kita sering membela kitab suci,
bukan membela tanah bumi.
Sangkamu, kita tahu sabda-Nya
dan kita mampu lakukan seutuhnya kebenaran?
Jujurlah, bukankah kita tidak tahu
gerangan apa dituliskan-Nya?
Kita membaca cuma kebenaran diri sendiri,
bukan kebenaran Dia yang sejati.
Pantas kita sering membela diri,
bukan membela dia yang miskin tersisih.
Dalam kitab suci kita membaca kisah
para pembela agama
yang bernafsu untuk mendera
dia yang dipandang kelas dua atau kelas tiga,
yang dianggap menista agama
dan dicap kafir penuh dosa.
Itulah kisah wibawa kitab suci
yang dijumpai wibawa tanah bumi.
Para pembela tak bisa berbuat apa-apa.
Mereka meninggalkan dia,
bersama batu-batu tak terlempar,
pergi satu-satu tak komentar.
Di hadapan kebenaran-Nya yang sejati,
nyatanya kita ditelanjangi;
dilucuti segala manipulasi
demi kepentingan diri sendiri.
Seharusnya kita berkata:
"Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi,
tidak sanggup aku mencapainya."
Tak pernah kita paham seutuhnya,
pun tak tahu sejelas-jelasnya
Yang Mahasuci dan kebenaran-Nya.
Selalu ada misteri dari segala yang Dia beri.
Lebih baik, kita berkata:
"Sesungguhnya, aku ini terlalu hina;
jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu?
Mulutku kututup dengan tangan.
Satu kali aku berbicara,
tetapi tidak akan kuulangi;
bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan."
Lebih baik aporia
daripada euforia,
di hadapan kebenaran-Nya.
Timur-Utara Jogja, 28 Mei 2017 hendrimsendjaja
A. N. : Puisi ini dimuat di Kompasiana atas seijin penulis, Hendri M. Sendjaja, M. Ac. Lic. Th., Dosen Fakultas Teologi UKDW
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H