Beberapa minggu ini, banyak sekali ragam berita yang menerpa Indonesia, tidak sedikit yang lokal, banyak juga yang interlokal maupun internasional. Dari kopi sianida legenda, Pokemon Go, 1MDB, kudeta Turki Endogan, vaksin palsu, sampai plagiarisme pidato istri Donal Bebek. Namun di sini, penulis tidak akan membahas satupun tentang itu.
Disaat publik sedang diterpa kasus persidangan Kopi Sianida, muncul lagi berita tentang sidang genosida pra dan pasca 1965 (yang pastinya tidak terlalu banyak yang dengar, tahu, ataupun lihat), dimana sebuah lembaga bernama IPT (International People's Tribunal) mengajukan beberapa solusi bagi pemerintah Indonesia mengenai kasus genosida yang dilakukan oleh massa gerakan anti-PKI pasca 1965 yang menelan banyak korban.
Hal ini ditanggapi oleh Menlu kita, Bu Retno Marsudi, yang menyatakan, bahwa di negara demokrasi, penyuaraan pendapat adalah hak setiap orang, namun pemerintah Indonesia tidak terikat/wajib untuk mematuhi hal tersebut.
Lucunya, hal ini juga ditanggapi oleh 'ormas' yang menyatakan bahwa tidaklah harus negara meminta maaf.
Kutipan dari Tempo :
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnaen menilai pemerintah Indonesia tak layak meminta maaf pada korban pembunuhan massal di tragedi 1965. Pernyataan ini dia ucapkan untuk menanggapi rekomendasi yang diberikan oleh majelis hakim dalam Pengadilan Rakyat Internasional (International People's Tribunal/IPT).
"Pemerintah Indonesia tidak akan menanggapi," kata Tengku saat dihubungi Tempo, Kamis, 21 Juli 2016. Menurut dia, pengadilan itu tidak bisa memaksa Indonesia untuk meminta maaf kepada para korban 1965.
Disini, penulis melihat beberapa hal yang 'unik' :
Pertama, adalah fakta bahwa lembaga di Indonesia belum sanggup berbuat banyak dalam menangani kasus HAM yang satu ini, yang telah menghantui negara ini sejak 'Piye Kabare?'.
Kedua, adalah fakta bahwa suara para penyintas aksi massa anti-PKI yang melakukan genosida di seluruh Indonesia hanya dianggap angin lalu, tertutupi oleh semen sejarah, yang memberi banderol 'The Smiling General' sebagai sang 'superhero' atas kejadian tersebut, yang dulu wajib ditonton setiap tanggal 30 September.
Ketiga, adalah fakta bahwa 'ormas' yang menyuarakan penolakan pun sampai bawa-bawa agama segala. Ya ampun.