Industri pertambangan memainkan peran penting dalam perekonomian global dan merupakan penggerak utama transisi energi global. Namun, sektor ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, seperti solar, untuk menggerakkan peralatan dan operasinya.
Industri pertambangan bertanggung jawab atas sekitar 4-7 persen emisi karbon global. Peralatan dan operasional bertenaga diesel menyumbang sebagian besar emisi ini.
Catatan International Council on Mining and Metals (ICMM) dilansir dari laman Schneider Electric, 30-80 persen emisi gas rumah kaca dihasilkan oleh sebuah tambang (tergantung pada geografi lokasi tambang dan material yang ditambang).
Meskipun demikian, sektor pertambangan memiliki peran vital dalam membangun dunia yang lebih berkelanjutan.
Sebab, teknologi energi ramah lingkungan, seperti pembangkit listrik tenaga surya, pembangkit listrik tenaga angin, dan kendaraan listrik (EV) membutuhkan lebih banyak logam dan mineral dibandingkan teknologi berbasis bahan bakar fosil.
Misalnya, kendaraan listrik membutuhkan masukan mineral sekitar 6x lebih banyak dibandingkan mobil berbahan bakar fosil.
Permintaan logam dan mineral diperkirakan akan tumbuh sebesar 500 persen pada 2050, sebagian besar disebabkan oleh dukungan terhadap teknologi ramah lingkungan ini. Tantangannya adalah memenuhi kebutuhan sambil tetap membatasi emisi karbon milik perusahaan pertambangan.
Peralihan dari diesel ke listrik
Menghidupkan proses, peralatan, dan pembangkit listrik dengan listrik rendah karbon, seperti elektrifikasi, dibandingkan bahan bakar fosil akan menjadi cara penting untuk mengurangi jejak karbon industri.
Misalnya, truk pengangkut yang biasanya menggunakan bahan bakar diesel dan gas, kini menjadi alternatif untuk truk listrik.
Hal ini dapat memberikan dampak besar dalam mengurangi jejak karbon perusahaan pertambangan. Misalnya saja, diperkirakan terdapat 28.000 truk pengangkut besar yang beroperasi di seluruh dunia.