Lihat ke Halaman Asli

Kekerasan Struktural dan Agama, Perda Ruqyah Padang dan LGBT

Diperbarui: 30 Januari 2019   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melihat beberapa pemberitaan di media baik media sosial, cetak, ataupun media daring, saya tergelitik membaca tentang berita ruqyah terhadap beberapa kaum LGBT ( Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender ). Pemerintah Daerah Padang menerapkan Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum yang isinya mengharuskan untuk kaum LGBT diruqyah karena ada pengaruh jin dan syaitan. 

Bahkan Walikota Padang Mahyeldi Ansharullah menyebutkan bahwa gay, lesbian, biseksual dan transgender (LGBT) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh lingkungan dan faktor ekonomi sehingga menimbulkan penyimpangan seksual. 

Selain itu Pemerintah Kota Padang menyebutkan akan melibatkan TNI untuk menyusur serta menjaring beberapa kaum LGBT untuk diberi pembinaan dan ruqyah sesuai dengan peraturan daerah tersebut.

Apakah bentuk ruqyah dan menjaring kaum LGBT dengan melibatkan TNI merupakan kekerasan struktural? Kekerasan dalam arti luas menurut Johan Galtung adalah sebagai sesuatu penghalang yang seharusya bisa dihindari yang menyebabkan seseorang tidak bisa mengaktualisasikan diri secara wajar. 

Penghalang tersebut menurut Galtung sebenarnya dapat dihindarkan, sehingga sebenarnya kekerasan itu juga bisa dihindari jika penghalang itu disingkirkan (Muchsin,2006). Menurut Galtung (1969) akses terhadap sumber daya, kekuasaan politik, pendidikan, pelayanan kesehatan, atau legal standing, adalah bentuk-bentuk kekerasan struktural. 

Hal ini terjadi setiap kali orang dirugikan oleh struktur politik, hukum, dan ekonomi yang tidak adil, atau tradisi budaya. Kekerasan struktural terjadi ketika kebutuhan dasar manusia tidak terpenuhi, potensi manusia dibatasi, dan rentang hidup yang singkat karena ketidaksetaraan dalam cara struktur politik dan ekonomi dari masyarakat mendistribusikan sumber daya. 

Kekerasan secara langsung adalah tindakan brutal yang mudah menarik perhatian kita, kita dapat melihat dan menyadarinya, maka kita sering menanggapi itu. Namun, kekerasan struktural tak terlihat, tertanam dalam struktur sosial di mana-mana, dinormalisasi oleh lembaga yang kuat dan berpengalaman.

Artinya, Peraturan Daerah tentang Ruqyah bagi kaum LGBT dianggap sebagai kekerasan struktural, karena melibatkan hukum dan agama yang dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak terlihat. 

Memang sangat sulit menghilangkan kekerasan dalam bentuk ini karena selalu terkait dengan rezim pemerintah yang berkuasa. Kekerasan struktural juga dianggap sangat menusuk karena lazimnya pemerintah baik daerah ataupun pusat secara notabene merupakan salah satu pelindung masyarakat dengan perilaku yang sama merata kepada seluruh masyarakat tanpa terkecuali, tanpa memandang ras, suku, bangsa bahkan seharusnya orientasi seksual. 

Hanya karena ada basic kebencian terhadap LGBT, peraturan daerah malah menjadi sumber ketakutan bagi beberapa kaum minoritas terutama LGBT akibat peraturan perundang-undangan tersebut.

Bentuk-bentuk kekerasan struktural ini merembet hingga kepada kekerasan kekerasan lainya yang muncul. Kekerasan struktural dianggap induk daripada kekerasan yang lain karena effectnya seperti domino runtuh dimana peraturan perundang-undangan bisa disalahgunakan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline