Siang itu, sedih dan luka membumi hanguskan hati Degara. Pria itu menyaksikan kekasihnya berduaan dengan lelaki lain. Betapa mudahnya Clarisa membuang cerita kasih mereka selama 4 tahun ini.
Dari spion vespa, Degara mengawasi kekasihnya yang dibonceng pergi dari taman. Sebenarnya dia sudah membuntuti mereka sejak tadi.
Bisa-bisanya kamu giniin aku, Clarisa! Teriak Degara dalam hati cintanya pupus dikoyak fakta.
Pria itu masih di sana sendiri tak kuat lagi menahan tangisnya. Sampai Clarisa dan lelaki itu pergi menjauh dengan motor ninja. Tak ada lagi ingin membuntuti mereka, karena sudah cukup baginya menerima bukti kejanggalan yang sudah jelas benar.
Dengan helm putih dan jaket merah yang dipakai, Degara pergi membawa vespa putih miliknya pulang ke rumah. Tangis diam yang membuat matanya berkaca-kaca itu, masih dirinya bawa.
Di kamar, Degara dengan gitarnya bersenandung. Tak sengaja sebuah lagu tercipta dengan haluan intonasi tinggi yang menyelekit. Lirik-lirik syairnya memecah kebisingan menjadi sepi. Luwes jari jemari memetik senar gitar dengan tangga nada minor. Pelampiasan iris hatinya menjadi sesuatu yang bermakna indah.
Berbait-bait lirik itu ditulisnya dalam sebuah diary lama. Sudah lama sekali Degara belum menyentuh lagi buku itu. Biasanya apa yang dituliskan di sana adalah perasaan bahagia dan senang, tapi kini yang dia tuliskan adalah sedih dan derita.
Malam itu tak disangka Clarisa masih menghubunginya seakan tidak terjadi apa-apa pada hubungan mereka. Degara berhenti sejenak melihat layar ponsel yang berdering dengan cahaya menerangi sedikit dari kamarnya yang gelap. Dibantu oleh cahaya dari lampu belajar di atas meja, pria itu masih belum menjawab panggilan yang berbunyi sejak tadi.
Hatinya sudah keras dan tak peduli lagi dengan wanita itu. Baginya nama Clarisa sudah lepas dari hati, walau dalam ingatan masih belum terlupa. Ini jadi sebuah pembelajaran berharga bagi Degara.
Aku ingin menghilang entah dia suka atau tidak. Dia membatin tak menjawab panggilan masuk Clarisa dan memilih beranjak ke kasur untuk tidur.
Pagi harinya, dia sama sekali belum beranjak dari kasur dengan selimut membungkus tubuhnya utuh. Rasa lelah masih bernaung jika bertemu lagi Clarisa, itu alasan kuatnya tak beranjak dari kasur.