Yang paling sulit terucap adalah kata perpisahan. Walau malam itu senang memancar di hati. Begitu yang dirasa oleh Radit, berkata hati-hati di jalan. "Makasih ya, kamu udah dateng." Ujar pria tampan berkemeja kotak-kotak itu bernada senang seraya tersenyum merekah. Tentu karena sang pujaan hati. "Iya, sama-sama." Balas sang wanita di telpon.
Bahasa cinta mereka tidak seperti sejoli umumnya. Tidak perlu pakai sayang untuk utarakan cinta. Pakai perhatian saja itu sudah lebih dari cukup. Malam itu sang tunangan diantar oleh kakaknya yang tegas dan disiplin. Namun Radit tidak cemas ataupun khawatir pulangnya tunangan bersama calon kakak ipar. "Sekali lagi, kamu hati-hati ya di jalan." Ujarnya lagi ada dorongan berkata itu. "Iya, kamu juga." Balas tunangannya lagi, diakhiri oleh keduanya. "Dah." Satu kata terakhir itu menutup percakapan mereka.
Di luar resto, Radit mengenakan jaket dan helm lalu menyalakan mesin vespa miliknya. Dia pulang dengan motor kesayangan, sedangkan Sinta tunangannya dengan mobil minibus kakaknya. Makan malam hari itu, memanglah keduanya berangkat bersama dengan vespa. Namun sang kakak ingin menjemput adiknya itu untuk pulang bersamanya. Ini bukan perpisahan semacam di film. Sinta akan baik-baik saja. Itulah isi pikiran Radit, ada sesuatu yang mengganjal walau jumpa mereka baik-baik saja."Semoga Sinta dan kakaknya baik-baik saja." Ujar pria itu, ada gelisah di wajahnya.
"Sinta, mas minta maaf ya..." Bujuk Anton melembutkan suara seraya melirik wajah Sinta yang kesal, "Radit itu, ternyata gak seperti yang Mas kira. Dia ganteng, sederhana, cocok sama kamu." Lanjutnya lagi merubah murung dan kesal itu menjadi bahagia. Mata Sinta agak berkaca-kaca, itu yang sang kakak lihat dari cermin kecil di dekatnya. Lelaki berjas itu tertawa kecil melihat sikap sang adik yang duduk di belakang.
"Jadi, gak boleh ada yang jelek-jelekin dia ya. Hahaha." Ledek Anton seraya terkekeh. Sontak Sinta mencubit lengan kakaknya yang nakal dengan wajah tersipu malu. "Pantas saja dia menelponmu lagi tadi. Syukurlah, kalau dia seperhatian itu." Tutur kakaknya lagi diikuti sang adik yang mengangguk setuju walau masih diam seribu bahasa. Sinta hanya tersenyum sejak tadi, sampai mobil mereka kembali berjalan di lampu merah. Dari arah kiri, ada truk yang menabrak dengan kencang.
Seluruh indera seketika padam. Tak lagi ada rasa, tak lagi ada sadar. Yang ada hanya kabar duka bagi semua.
Kabar kecelakaan kakak beradik itu sampai juga ke telinga Radit. Ayah Sinta barusan mengabarinya lewat telpon. Pria itu seketika menelan pil pahit ke tubuhnya. Tidak ada yang lebih pahit dan getir dari berita ini. Dia bergegas segera ke rumah sakit pagi itu untuk menjenguk tunangannya yang terbaring di sana. Vespa itu agak mengebut berkendara menuju rumah sakit. Radit gundah gulana di perjalanan, apalagi macet di jalan raya membuatnya sangat kesal. Namun di belakang dan depan tak bisa lagi bergerak oleh kendaraan lain yang ikut menunggu di kemacetan.
Pria itu menggedor vespanya jengkel. Memang waktu masih sangat pagi, tapi tak disangka akan semacet ini. Di lain tempat, Sinta masih terbujur sakit di ranjang kamar. Ditemani ayah dan sang ibu serta anak bungsu keluarga mereka. Tubuhnya di selimuti perban dan pakaian putih pasien. Wanita itu koma dan masih memakai ventilator. Kecelakaan malam tadi benar-benar mengejutkan semua termasuk keluarga. Ayah dan ibu terisak tangis lebih-lebih lagi setelah Anton dinyatakan meninggal oleh pihak rumah sakit dan tubuhnya sekarang berada di ruang jenazah.
Beberapa saat kemudian, Radit akhirnya bisa melewati kemacetan itu meski telat menjenguk. Langkahnya tak berhenti sampai masuk ke kamar Sinta. Pria itu mendekat ke ranjang tempat tunangannya terbaring lemah. "Sinta, aku minta maaf!..." Dia terisak tangis seraya mencium tangan Sinta yang terpasang selang infus, "Kalau bukan karena aku, kamu gak akan begini!" Lanjut Radit berlinang air mata menyalahkan diri sendiri atas kondisi sang tunangan yang koma. "Maafin saya om, karena saya juga, Mas Anton meninggal dunia." Ujar Radit menyalahkan dirinya lagi atas meninggalnya kakak Sinta.
"Ini bukan salah kamu, Radit. Om tidak menyalahkan kamu atas apa yang menimpa Sinta dan Anton. Ini sudah takdir." Jelas Ayah Sinta matanya berkaca-kaca berusaha menahan air matanya jatuh. "Sudah, jangan sedih kita berlarut-larut seperti ini." Tambahnya lagi sebagai orang tertua di kamar itu. "Anton dan Sinta akan sedih melihat kita menangisi mereka." Kali ini sang ayah menguatkan semuanya seraya terus memandangi Sinta yang masih terpejam matanya. Mereka semua pun keluar dari kamar, duduk di luar untuk menenangkan diri. Sedangkan Ibu Sinta masih menangis di pelukan suaminya. Ayah Sinta terus mengusap lengan istrinya itu agar perlahan tenang dan emosinya mereda.
Di dekat mereka, Radit hanya bisa termenung diam membisu. Tubuhnya condong ke depan dengan tangan menyatu. Matanya masih berkaca-kaca dan sesekali mengusap air mata yang turun ke pipinya. Pandangannya hanya fokus ke pintu kamar Sinta. "Aku harap kamu segera pulih seperti sedia kala." Gumam Radit mendoakan kesembuhan tunangannya. merasa hidupnya tak lagi berwarna jika tanpa Sinta. Wajar saja, mereka baru bertunangan minggu lalu. Keinginan sepasang insan itu untuk hidup bersama. Tidak boleh pupus hanya karena kemalangan ini.