Musim kemarau di Kota Springkle memberi suasana berbeda bagiku dan warga kota. Yang paling aku sukai saat kemarau tiba, membuat ilutrasi pohon yang daunnya berguguran dan menggoes sepeda berkeliling kota. Hobi itu selalu mengisi ruang kosong di hati. Namun ternyata tidak selalu juga. Ada kalanya aku mencari sesuatu yang tidak tahu itu apa. Dan tidak pernah kutemukan juga.
Sampai usia menginjak bangku kuliah sekarang, aku masih belum tahu apa yang bisa melengkapi ruang hati jika bukan karena kedua hobiku itu. Sampai suatu yang ajaib terjadi. Ada seorang perempuan yang memotretku diam-diam. “Ckrek-ckrek-ckrek.” Ada tiga foto yang diambil olehnya. Dia menghampiriku untuk memberikan foto-foto itu langsung.
“Permisi, aku memfoto dirimu tadi. Ini foto-fotonya. Bagus bukan?” Tuturnya memberi ketiga foto itu, sekaligus meminta pendapat hasil jepretannya. Bukan hanya wajah, tapi mendengar suaranya, itu sangat halus dan lembut didengar siapapun. Ini adalah pengalaman langka bagiku. “Ah, bagus sekali…” Aku menilik tiga foto itu sesaat, “Boleh aku bertanya?” lanjutku ingin bertanya sesuatu kepada perempuan cantik itu.
“Boleh.” Perempuan itu mengangguk setuju. “Apa kau hanya mengambil foto di musim kemarau saja?” Tanyaku penasaran menatap mata indahnya dengan senyum berseri. Pertanyaan itu muncul karena baru melihatnya sekarang. “Tidak juga, aku banyak mengambil foto di berbagai tempat. Tapi musim kemarau ini, di sini tempat paling bagus mengambil foto.” Jawabnya membalas senyum berseri juga. Setiap dia tersenyum, lesung pipinya terlihat menambah kecantikan parasnya.
“Tidak, kau jangan berpikir macam-macam, Sugo!” Gumamku mengingatkan diri sendiri agar tidak aneh-aneh. Apa yang dikatakan perempuan ini benar. Tempat ini memanglah punya daya tarik tersendiri ketika musim kemarau tiba. “Kau benar, tempat ini istimewa. Oleh karena itu aku suka menggambarnya ke dalam secarik kertas.” Ujarku memberi pandangan yang sama-sama tertarik. Larut dalam percakapan, aku hampir lupa berkenalan dengannya. “Oh iya, perkenalkan. Aku Sugo.” Ucapku mengulurkan tangan salam perkenalan. Dia pun menerima jabat tangan itu dengan hangat. “Aku Lisa.” Balasnya memperkenalkan balik. Lisa pun duduk berdua denganku di bangku itu saling bersebelahan.
“Wah, jadi kau punya jiwa seni yang tinggi ya!” Serunya memuji gambaranku yang sederhana. Sketsa yang kubuat, menggambarkan perasaan di musim kemarau ini yang apa adanya. “Hasil fotomu juga adalah seni. Masing-masing orang punya jiwa seninya sendiri.” Jelasku memberi pandangan yang lebih luas tentang seni.
Kemarau indah, tidak galau apalagi resah. Kemarau indah, buatku lebih bahagia.
“Kau juga pandai menulis kata-kata?” terka Lisa melihat tulisan yang kubuat di bawah sketsa pohon itu. “Hanya sedikit.” Jawabku singkat memperlihatkan hasil paduan sketsa dan tulisan. “Sangat indah!” Lisa takjub merekat tangan ke pipi seraya memuji. “Ini bukan apa-apa. Masih ada yang lebih baik dariku…” Seketika aku merapihkan buku dan alat tulis ke dalam tas selempang. “Kuharap kita bisa berjumpa lagi.” Ujarku melanjutkan kata sebelum berpisah seraya beranjak bangun. “Apa kita bisa bertemu lagi besok?” tanya perempuan itu berharap bisa mengenalku lebih lama. Aku mengangguk iya dan berterimakasih atas foto yang dia ambil. “Dah, sampai jumpa!” Lisa melambaikan tangannya membuatku menengok dari jauh dan membalas lambaiannya juga.
Mulai hari itu, kami sering bertemu di jalan pinggiran kota. Hari esoknya, aku ke sana menaiki sepeda. Lisa saat itu menunggu kedatanganku di bangku yang sama. Dia terkejut melihat lelaki berkemeja dengan setelan celana cokelat itu mengayuh sepeda ontel kemari. Seakan diriku ingin mengajaknya ke suatu tempat. “Tidak ada rahasia di kota ini. Jadi aku akan mengajakmu berkeliling saja.” Beritahuku mengajaknya naik berboncengan di depan mengelilingi kota. “Pelan-pelan ya.” Ucapnya mengingatkanku agar berhati-hati saat membonceng perempuan cantik sepertinya. “Haha, tenang saja.” Balasku meyakinkan Lisa yang sekarang duduk di belakang menyamping.
Aku mengayuh pelan ke depan sana. Banyak sekali pohon yang daunnya berguguran tersapu angin menutupi seluruh jalan. Banyak juga ranting pohon yang masih lebat daunnya walau layu kecokelatan. Kami berdua berkeliling melewati komplek yang sepi berlalu lalang. Hanya ada beberapa pejalan kaki yang berjalan di arah tujuannya. Lisa tak lupa memotret pemandangan sekitar sana demi mencari hasil foto terbaik untuk albumnya. Siang itu, kami berhenti di kedai kopi Matthew. Kedai kopi yang sering kudatangi kapanpun aku mau.
Sepeda ontel ini berhenti tepat di depan sebuah plang bertuliskan nama kedai, yaitu Matthew Coffe. Kedai kopi ini menyatu dengan warna musim kemarau, yang membuatnya jauh lebih indah, menjadi salah satu tempat menakjubkan di kota. Ada dua orang pelanggan di sana yang sedang mengabadikan momen lewat jepretan kamera handphone. Mereka juga berswafoto berlatarkan dinding kedai. “Kamu lihat mereka? Mereka itu salah satu pelanggan tetap di sini.” Beritahuku pada Lisa, melihat sejoli itu berganti-ganti pose. Aku masuk ke dalam bersama Lisa untuk memesan menu favorit. “Kamu mau pesan apa?” Tanyaku di depan papan menu yang tersedia berbagai suguhan kopi.