Lihat ke Halaman Asli

Alea Zakki

Mahasiswa

Kuasa Waktu

Diperbarui: 14 April 2024   16:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari atas tebing, terdengar sambaran petir dahsyat memekakan telinga. Ranum dan teman-temannya sontak terkejut. Burung-burung berterbangan tak pikir arah, dan hewan-hewan di sana berlarian mendekat ke arah mereka. “Num, Bisma!” seru Angga mengingat satu temannya yang tadi masuk ke hutan pinus sendirian. “Biar aku yang periksa.” Moko ikut menimpali bergegas menyusul temannya ke hutan.

“Aku ikut, Ko.” Tambah Argo membuntuti dari belakang. Menemani pria berambut mullet itu. Mereka berdua masuk ke dalam hutan. Ada tiga dahan tumbang di depan mereka. Di atasnya ada sebuah sarang burung besar yang letaknya sembarang. “Go, itu mirip rambutmu ya?” Celetuk Moko melihat sarang itu sama percis dengan rambut kribo teman di belakangnya.

“Lho iya, mirip rambutku!…” Argo terdiam bepikir rambut dan sarang yang membuatnya bingung, “E-e-ehh. Kok, malah bahas sarang. Kita cari Bisma dulu, bahas sarangnya nanti lagi.” Lanjutnya memfokuskan pencarian Bisma. Lelaki kribo itu agak mendorong temannya untuk bergerak melewati dahan-dahan pohon itu melangkah agak lebar.

Keduanya terus bergerak ke arah sumber geledek petir yang membuat mereka cemas. Mereka sampai di dekat tebing yang diyakini petir tadi menyambar. Ada bekas bau hangus terbakar di dekat batu dan tanah. Rerumputan hijau di sana pun terbakar hangus, walau tak menyebar. “Lho, kok bisa begini?” Gumam keduanya heran seraya menaikan alisnya dengan mulut agak terbuka. “Yang kita pikirkan sama!” Ujar keduanya saling mengetahui isi pikiran masing-masing, seraya memandang kedua muka bersamaan. “Haha, sama-sama mangap!” Ujar mereka lagi seraya tertawa bertindih lawakan.

Argo langsung mengecek ke bawah dari atas pinggir tebing. “Bisma!” panggil lelaki kribo itu spontan, melihat Bisma tengkurap di atas batu. Darah mengucur dari kepalanya. Pandangan Moko ikut tertuju ke bawah tebing, membuatnya sangat terkejut melihat kondisi mengenaskan teman yang mereka cari. Argo bergegas turun dari sana melewati jalan bebatuan di pinggir yang agak curam.

“Argo, gue panggil lain ya!” Seru Moko agak berteriak dengan gestur tangan di muka. Lelaki itu segera kembali ke tempat awal teman yang lain berada. Dari arah sebaliknya, Ranum dan dua temannya yang lain menyusul ke dalam hutan karena merasa sangat khawatir. “Ko, gimana? Udah ketemu Bisma?” Tanya spontan Ranum, perempuan cantik pemilik rambut sebahu itu. Dia berpapasan dengan Moko di jalan yang sama dekat dahan pohon tumbang bersama dengan Angga dan Siska. “I-i-itu, Bisma. Bisma udah ketemu!” beritahu lelaki itu agak terbata-bata. “Syukur deh. Terus dia lagi apa?” Tanya Angga penasaran. “A-a-anu…” Moko sesaat terbelit lidah, “Bisma tengkurep!” lanjutnya berbicara tanggung. “Kok bisa tengkurep?” Tanya Siska masih mencerna kata Moko.

“Di-di-dia, dia jatoh dari tebing!” beritahunya tuntas mengejutkan ketiga temannya itu dan menambah kekhawatiran mereka. Tanpa berkata lagi, mereka bertiga langsung pergi dibuntuti oleh Moko menuju tebing di depan sana. Di atas sana mereka melihat dari pinggir tebing, Argo menggendong tubuh Bisma yang lemas tak sadarkan diri naik ke atas. Tubuhnya dibaringkan di lantai gazebo yang agak jauh.

Keempat teman yang lain segera menghampiri mereka berdua. Jalan yang terjal membuat mereka berempat lelah ketika sampai di atas. Napas mereka terengap-engap seraya tangan menahan ke lutut. “Jauh banget sih, lo bawa dia?” Ujar Siska lelah berkucur keringat sama seperti yang lain. “Coba kalian lihat. Badan dia kebakar gini.” Tutur Argo membuat mereka mengerubungi tubuh Bisma. “Bukan main!” Seru Angga mengernyitkan wajah berkacamata, karena lelah dan kaget dengan kondisi Bisma yang lebih parah lagi. Luka bakar di dada dengan kaus hitam yang bolong-bolong terbakar. “Aku rasa dia kesambar petir terus jatuh ke batu tadi. Kasian sekali dia.” Tambah Argo lagi merangkai kejadian dan menyimpulkan yang terjadi pada Bisma. Melihat darah masih mengucur, Siska langsung mengikatkan kain corak kotak-kotak di lehernya, tepat di kepala Bisma tempat luka bersarang. Bersama-sama, mereka semua membawa Bisma ke rumah sakit.

Liburan yang baru saja akan dinikmati, berubah menjadi musibah bagi salah seorang teman mereka. Ini membawa duka bagi keluarga Bisma. Entah kenapa hal itu bisa menimpa lelaki tampan berambut cepak itu, yang sekarang terbujur kaku di kamar rumah sakit. Kondisinya koma sampai berminggu-minggu. Sampai pekan kelima di hari senin, Bisma baru sadarkan diri dan melepas ventilator. Ketika sadar sudah berlilit perban putih di kepala dan tubuhnya. Dia masih merasakan sakit yang sangat tidak enak dirasa. Ibu dan adiknya senantiasa menunggu dirinya sadar. “Gimana perasaan kamu, mas?” Tanya Ayu, adik Bisma yang cantik dan imut. Di sebelah kanan, ada sang ibu yang perhatian memberi senyuman dan usapan hangat ke keningnya.

“Aku baik, Yu.” Jawab Bisma meyakinkan adik sekaligus ibunya. Bisma bergeser memandangi wajah ibu yang sembab. Tanpa diberitahu, anak laki-lakinya itu tahu kalau sang ibu baru saja menangis di balik senyumannya. “Ibu, maafkan mas ya bu. Karena mas udah bikin ibu sedih. Sekarang mas sudah baikan, kok.” Ujar Bisma menyudahi sedih ibunya seraya menggengam tangan sang ibu. Di hari pertama, belum ada teman-temannya yang datang menjenguk.

Ranum, Moko dan Argo menelpon Bisma untuk menanyakan kondisinya hari itu setelah mendapat kabar dari Ayu. Siang itu, Ranum yang pertama kali memastikan kabar Bisma melalui telpon. “Halo, Bisma. Gimana kabar lo? Udah enakan?” tanya perempuan itu sekaligus ke intinya. “Gue udah jauh lebih baik, walau masih harus pake penyangga leher dan perban.” Jelas Bisma berkata jujur. “Kali ini gue jujur, kok.” Tambahnya lagi meyakinkan Ranum yang sering dia bodohi. “Iya, gue tau lo jujur kok…” sesaat Ranum menggigit bibirnya mencari kata yang pas, “Cepet sembuh ya! Gue ada perlu lagi. Dah!” Ujarnya bernada lembut mengakhiri percakapan. Ranum akhir-akhir ini banyak berubah dan lebih lembut dari biasanya. Pikiran itu terbesit oleh Bisma, yang seringkali tersenyum bila memikirkan sikap Ranum. Berbeda dengan dua temannya yang lain, mereka lebih suka berbasa-basi dan bercanda dimanapun dan saat apapun juga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline