Lihat ke Halaman Asli

Ricardus A.B Asbanu

Memotret luka dalam aksara

Puntung Rokok Papa dan Selendang Mama

Diperbarui: 18 November 2023   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : Ilustrasi Penulis Sendiri

Sore ini jalanan begitu ramai, warga desa ramai-ramai membersihkan jalan masuk ke desa mereka jalan, itu dibangun kurang lebih tahun 60-an, terlihat jelas melalui bahan yang digunakan untuk membangun jalan itu tanpa bantuan alat berat melainkan itu murni dari gotong royong mereka sendiri. Aku berdiri termangu sambil memegang sapu, mata terus melototi aktivitas setiap keluarga yang dengan ronanya berbeda pada setiap keluarga ada yang begitu asyik dengan anaknya bekerja sambil bercanda dan adapula vang sambil meneriaki kebandelan anaknya yang sudah tidak tertolong dengan tingkahnya. Pilu hinggap pada pundakku ingatan membawaku pada sebuah lorong imajinasi tentang keheadiran Papa dan Mama dalam sebuah kemustahilan.

"Pah...Maa...kenapa harus begini " desahku sambil menahan air matmaPPPlkkjyangg handak jatuh pada pangkuan pipi.

Sore ini adalah sesuatu yang baru untukku ini tak pernah terjadi sebelumnya. Kisah yang sudah terbungkam waktu bisu pada ingatan kembali mengendap, hati teriris lembut namun tak ada jalan tempuh lain untuk menyusuri jejak mereka selain rumah tua, punting rokok Papa dan selendang Mama Bukanlah benda yang sebataas material punting rokok dan selendang adalah kenangan yang diawetkan waktu dalam ingatan. 

Sore itu masih memangku keresahan sambil bersandar pada kerinduan. 

" Mama... Papa... Jika ini bukan tentang darah dan daging maka izinkan aku melupa dengan ikhlas dengan rapi, aku ingin menjatuhkan amnesia tentang segala yang pernah terjadi.. Aku hanya lupa " Dalam keheningan malam pada tempat tidur yang tahu segalanya tentangku. 

Jauh dari orang tua adalah kerinduan yang abadi hidup tanpa pelukan orang tua adalah kesepian terpanjang dalam hidup, sebab mereka adalah cinta tanpa luka.

" Ma... Pa... Bolehkah suatu saat kita diizinkan waktu untuk merajut sebuah temu, tidak apa jika hanya sebentar " 

" Aku rindu omelan Mama, aku rindu pelukan Ayah" 

Malam yang panjang terasa begitu singkat bahkan sebelum bantal benar-benar tau tangisku tumpah malam itu. Tidurku masih tak terasa lelap kicauan burung sudah membangunkanku air mata masih basah pada pengakuan pipi. 

" Merindukan pelukan orang tua adalah tangis yang menolak mengering, selalu basah pada setiap pukulan waktu "  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline